Adaptasi dan Situasi

53 8 18
                                    

Gabriel sekilas melihat ke sekeliling sembari melangkah mundur. Ia mengeratkan genggamannya pada kapak kecil yang ada di tangan kanan. Rasanya benda yang ia gunakan untuk melindungi diri itu tidak ada apa-apanya dibandingkan mesin pemotong rumput yang dipegang oleh mayat hidup di depannya.

Gadis dengan potongan rambut wolf cut itu melirik mata pisau pemotong rumput yang berputar cepat. Ia menelan ludah. Kalau dia ditakdirkan meninggal karena benda itu, sungguh kematian yang amat tragis di usia muda. Harus diakui, Gabriel sangat takut.

Mata Gabriel membulat sempurna kala bapak tukang kebun yang sudah menjadi zombi itu mendadak berlari tepat ke arahnya. Bersamaan dengan itu, suara bising dari mesin pemotong rumput yang dipegangnya sukses membuat Gabriel merinding. Baru saja berbalik untuk lari, suara benturan yang cukup keras membuatnya refleks menoleh.

Tukang kebun sekolah sudah terkapar di tanah, meski masih setengah sadar dan mencoba untuk bangkit kembali. Tampak sosok pemuda memukul kepala mayat hidup itu menggunakan sekop pasir berulang kali dengan sekuat tenaga, hingga kepala tukang kebun itu tak lagi berbentuk seperti yang seharusnya. Suara tulang remuk dan kentalnya darah sontak membuat Gabriel mual.

Pemuda tadi mematikan mesin pemotong rumput dan mengambilnya. Ia melirik Gabriel. "Kenapa lo berlawanan arah dari asrama?"

Belum sempat Gabriel menjawab, pemuda itu lebih dulu berbicara. "Interesting. Asrama justru lebih berbahaya, kan? Tujuan lo ke mana?"

Gabriel memutar kapak yang ia pegang. Dia ragu untuk menjawab. Di situasi seperti ini, ia tidak boleh mudah percaya dengan orang lain. Karena semua akan menjadi egois untuk keselamatan diri masing-masing.

Pemuda berpapan nama Geovanno itu tiba-tiba menyalakan mesin pemotong rumput dan berlari ke arahnya. Sontak Gabriel melompat ke kanan untuk menghindar, walau berakhir jatuh karena terlalu kaget.

Mata pisau pemotong rumput dengan cepat memutus leher zombi yang tadinya hendak menyerang Gabriel dari belakang. Setelahnya, mayat hidup itu tumbang.

"Mau bareng atau pisah di sini?" Pemuda tadi berbalik sambil mengusap pipinya yang terkena percikan darah.

Gabriel terdiam sejenak. Mungkin tidak buruk untuk bekerja sama. Lagipula, pemuda di depannya itu punya senjata yang lebih baik darinya.

"Tujuan gue gedung olahraga," ujar Gabriel sambil bangkit dari posisinya.

"Kenapa ke sana?"

"Jauh dari sarang zombi," jawabnya singkat dan mulai melangkah pergi.

• • • •

Frey terbangun dan menatap sekitar. Ia sedikit panik karena ruangan mulai gelap. Matahari sudah tumbang ke arah barat. Samar-samar, Frey bisa melihat Aca, Ade, dan Lisa masih tertidur pulas. Gadis itu segera bangkit dari duduknya. Sepertinya dia tertidur saat berjaga di depan pintu.

"Gue harus nyalain lampu atau enggak, ya?" gumam Frey.

Usai menimbang-nimbang, gadis berkacamata silinder itu memutuskan untuk tidak menyalakan lampu. Ia harus memastikan terlebih dahulu keadaan di luar. Mengingat kondisi Aca, Frey yakin lutut temannya itu sudah memar. Ditambah perutnya yang mulai keroncongan, gadis itu akhirnya membulatkan tekad untuk keluar dari lab.

Sebelum keluar, Frey mengambil spray pengharum ruangan, korek api, serta gunting. Setelah merasa siap, gadis itu membuka pintu dan keluar dari lab perlahan-lahan.

Langit yang mulai gelap membuat Frey semakin waspada. Ia bergerak pelan sambil menyoroti sekitar dengan korek api. Di lorong ini, suasana begitu lengang. Sejenak Frey berpikir, adakah siswa lain yang selamat?

Bulu kuduknya meremang kala tiba di dekat tangga. Jujur, Frey ketakutan. Karena suasana begitu hening, ia jadi tidak tahu apakah di bawah sana aman atau tidak, dan tidak bisa memperkirakan seberapa besar peluangnya untuk selamat.

It's ok, Frey. Emang akan selalu ada hal gila dalam hidup. Lagian Aca butuh obat, dan yang lain harus makan. Kita pasti bisa! batinnya menyemangati diri sendiri.

Walau sedikit gemetaran, tungkainya mulai menuruni anak tangga satu per satu. Ia menarik napas, lalu lanjut menuruni anak tangga yang sudah mendekati lantai bawah.

Mendadak langkah Frey terhenti. Bersamaan dengan itu, napasnya tercekat. Matanya membulat sempurna kala sesosok pemuda berjalan terseok dan lewat tepat di depan tangga.

Gadis itu buru-buru merogoh saku almet silvernya, mencari spray pengharum ruangan untuk berjaga-jaga. Frey yakin jika spray yang disemprot di depan api bisa membakar mayat hidup itu.

Ia berhasil mengeluarkan spray pengharum ruangan. Akan tetapi, karena terlalu gugup, Frey tidak sengaja menjatuhkannya. Suara bising dari benda itu membuat mayat hidup tadi dengan cepat menoleh.

"Mampus!"

Frey buru-buru memungut kaleng spray yang jatuh dan berlari menaiki tangga. Di belakangnya, pemuda tadi dengan cepat mengikis jarak.

Tungkainya terasa lemas karena ketakutan. Meski begitu, Frey terus memaksa tubuhnya untuk bergerak. Ketika tiba di lorong, ia berhenti berlari dan menoleh ke belakang. "Gue nggak boleh lari ke lab. Yang lain bisa bahaya."

Frey mengumpulkan sisa keberanian. Ia mengangkat kaleng spray tepat di belakang korek api dan menatap ke ujung lorong. Dadanya terasa sesak, disusul air mata hangat yang menetes. Frey berharap ini bukan akhir hidupnya. Dia bahkan belum sempat berpamitan dengan baik kepada sahabatnya.

Tak sampai lima detik, sosok yang ditunggu akhirnya muncul. Wajah belepotan dengan noda darah, ditambah tatapan dan suara gerungan yang bersemangat, Frey yakin zombi itu sangat ingin menjadikannya makan malam.

Ketika zombi berjarak lima atau enam langkah darinya, Frey memejamkan mata dan menyemprotkan pengharum ruangan ke korek api. Sontak muncul kobaran api besar yang dengan cepat melesat ke arah pemuda tadi, lantas menyambarnya.

Di luar dugaan, zombi itu tetap bergerak. Jantung Frey berdegup kencang, seolah akan meledak. Buru-buru gadis itu mengeluarkan gunting dan dengan mantap menancapkannya di leher zombi yang hanya berjarak sepuluh senti darinya.

Frey refleks mundur dan menyaksikan mayat hidup di depannya meregang nyawa. Dari gunting yang menancap di leher, ada darah yang menyembur keluar. Belum lagi api yang menghanguskan tiap inci tubuh zombi itu.

"Itu ... apa?" Frey mengernyit saat melihat makhluk kecil yang berbentuk pipih keluar dari hidung zombi. Tampak seperti cacing, tapi memiliki delapan kaki runcing di perutnya. Hampir seperti kelabang. Warna tubuhnya bening, membuat semua sel yang ada terlihat.

Bulu kuduk Frey meremang. Rasa takut, geli, dan jijik bercampur menjadi satu. Ia meraih korek api dan kaleng spray, berniat membunuh makhluk itu. Saat api mulai berkobar, mendadak makhluk aneh itu melesat ke arahnya.

Frey menjerit kaget dan dengan cepat mundur hingga terjatuh. Makhluk tadi gagal meraih tubuh Frey dan mendarat di lantai. Gadis beralmet silver itu semakin panik saat menyadari kacamatanya terlempar entah ke mana. Semua menjadi buram. Bagian mengerikannya, ia bisa mendengar makhluk tadi mendekat dengan cepat.

Frey melihat kaleng spray dan korek. Ia mengambil dua benda itu dan mengarahkan api ke sekelilingnya dengan membabi-buta. Setidaknya, dia harus membakar makhluk menjijikan tadi.

Gadis bernama lengkap Frey Jilian itu membatu kala merasa sesuatu memaksa masuk ke tubuhnya. Kejadiannya begitu cepat. Frey berteriak saat makhluk itu menyelinap masuk melalui urat di pergelangan tangan, dan bergerak cepat ke kepala.

Frey tak berhenti menjerit. Ia membenturkan belakang kepalanya ke tembok. Sepersekian detik, gadis itu terjatuh dan kejang-kejang. Ada sesuatu di kepalanya. Andai saja Frey bisa mengeluarkan makhluk itu dari sana. Kepalanya berdenyut hebat. Frey kesulitan meraup udara. Tubuhnya juga terasa kaku. Mendadak semuanya menjadi gelap. Di tengah lorong yang dingin, Frey tergeletak tak sadarkan diri.

The IsolatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang