Aula dan Gedung Olahraga

47 8 8
                                    

Bu Rani dan Joshua berada di aula lantai tiga gedung umum. Untungnya, suara yang mereka dengar saat berada di tangga bukanlah ulah zombi, melainkan Aneisha yang sibuk memblokade lorong menggunakan kursi, meja, lemari, dan apapun yang bisa digunakan.

Suara Joshua yang sedang ngotot-ngototan dengan polisi di seberang sana mengudara di ruangan. Polisi tidak menganggap serius laporannya, tak peduli berapa kali pria itu berusaha meyakinkan. Orang bodoh mana yang percaya tentang zombi? Mungkin begitu pikir mereka.

Aneisha sibuk menyusun strategi di kepalanya tentang bagaimana cara bertahan dan mencari bantuan, sedangkan Bu Rani mondar-mandir layaknya setrika karena memikirkan nasib siswa lain di luar sana.

"Duh!"

"Ck!"

"Polisi sialan!"

Ketiganya sontak menatap satu sama lain. Mendengar mereka berdecak dan mengeluh secara bersamaan, tampaknya seluruh penghuni ruangan itu mulai kalut.

"Kita nggak bisa di sini terus. Saya punya rencana, tapi kita harus keluar." Aneisha melipat tangannya di dada, lantas melirik Joshua dan Bu Rani bergantian.

Bu Rani menghela napas. "Ayo! Ibu nggak keberatan. Kita juga harus evakuasi yang selamat, kan? Di sini kayaknya aman. Bisa kita pakai untuk evakuasi. Gimana?"

Joshua menyibak rambut legamnya. Raut bingung dan kesal menghiasi wajah ovalnya. Jujur, dia kesulitan menghubungi Joy. Laporan hasil cek darah seharusnya sudah keluar berjam-jam lalu. Dia hanya berharap Joy baik-baik saja dan secepatnya bisa mengabari hasil cek darah.

"Joshua?"

Panggilan dari Bu Rani membuat pria itu sedikit tersentak, kemudian mengangguk cepat. "Iya, kita bisa jadikan ruang ini untuk evakuasi. Gue juga ikut keluar. Gue harus rekam situasi dan zombi-zombi gila itu untuk bukti laporan. Lagian kalau malam kayaknya sedikit lebih aman. Mereka lebih agresif kalau ada cahaya."

"Jadi, apa rencananya?"

Mendengar pertanyaan Bu Rani, Aneisha mengambil kertas dan pulpen dari meja belakang, lalu menggambar denah sekolah. Joshua berdiri dan bergabung, mengamati tangan gadis beralmet Ruby itu yang mencoret-coret kertas dengan cepat.

"Oke. Ada dua tempat yang nyediain makanan. Pertama, mini cafe di gedung Platinum. Kedua, minimarket asrama."

Baru mulai dijelaskan saja, dokter muda di samping Aneisha sudah menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dua tempat itu sama-sama beresiko dan cukup jauh dari gedung umum.

"Ini harus banget malam ini?" tanya Joshua yang mulai ragu.

Bu Rani mendengus dan menatap tajam. "Lo sendiri yang bilang mereka agresif sama cahaya. Kalau malam, seenggaknya kita bisa meminimalisir satu hal."

Joshua menelan ludah. "Ya udah, malam ini."

"Saya lanjut." Aneisha yang sedari tadi menyimak akhirnya kembali bersuara. "Kita bisa pilih yang resikonya paling kecil. Mini cafe," jelasnya sambil melingkari daerah lantai dasar gedung Platinum.

Bu Rani manggut-manggut. "Oke .... Rutenya gimana? Kita lewat lapangan?"

"Terlalu terbuka nggak, sih? Zombi bisa nyerang dari arah mana aja." Kali ini raut wajah Joshua benar-benar bingung.

Lengang sejenak. Ketiganya mencoba berpikir lebih keras.

Aneisha melirik Joshua."Selain cahaya, mereka agresif sama apa lagi?"

"Suara."

"Sekolah ini punya dua ruang siaran, kan? Di gedung ini dan di gedung level Ruby. Kita manfaatin ruang siaran. Dalam pengumuman, kita kecualikan gedung Platinum. Semua speaker gedung bakal bersuara, kecuali Platinum," jelas Aneisha yakin.

The IsolatedWhere stories live. Discover now