Pelarian dan Pembuktian

39 8 6
                                    

Deru napas keempat gadis yang lolos dari kejar-kejaran dengan belasan mayat hidup itu masih memburu. Frey menatap tangannya yang gemetaran. Itu pertama kalinya dia menusuk seseorang dengan membabi-buta. Ya, meskipun yang ia lukai adalah zombi, tetap saja Frey merasa bersalah.

Ade dan Lisa sibuk memeriksa dan memastikan kondisi Aca baik-baik saja setelah terjatuh. Aca mengaduh kesakitan kala Ade menekan tempurung lututnya.

"Bakalan memar, deh," ujar Ade gelisah sambil menatap Aca.

"Periksa. Kemungkinan lutut lo merah, terus bengkak juga. Kita harus tetap di sini seenggaknya sampai bengkaknya hilang atau baikan." Lisa mengamati lutut Aca dan bangkit dari duduknya. Diam-diam gadis itu melirik Frey yang tampak terguncang.

Sadar tengah diperhatikan, Frey tersenyum tipis ke arah Lisa dan buru-buru menarik tangannya yang gemetaran ke belakang, seolah berkata bahwa ia baik-baik saja.

"Kita harus coba kompres dingin buat redain nyerinya. Karena kita nggak mungkin terus di sini dalam waktu yang lama, kita coba cari obat pengurang rasa nyeri," anjur Frey yang juga mengubah posisinya menjadi berdiri.

Lisa mengangguk, kemudian mulai bergerak ke arah meja peralatan. Ia meraih wadah besi dan diisinya dengan air dingin dari dispenser di pojok ruangan. Frey membuka laci-laci meja dan lemari yang ada. Ia berdecak kala tidak menemukan apa yang dicari. Di detik berikutnya, Frey tampak bersemangat karena berhasil menemukan serbet.

"Pakai ini buat kompres. Gue lanjut nyari obat pereda nyeri," kata Frey sambil memberi serbet yang ditemukannya pada Lisa.

Lisa mengangguk, lalu menghampiri Ade dan Aca yang sudah menunggu. Frey kembali mengobrak-abrik laci, mencari obat.

Dua menit mencari, Frey berdecak dan menutup pintu lemari dengan kasar. Ia menengadah, lalu mengembuskan napas kasar. "Sama sekali nggak ada obat di sini. Satu-satunya cara, kita harus ke PKS."

Ade menoleh dengan kening berkerut. "Lo yakin? Ruang PKS ada di gedung lain, Frey. Bahaya!"

Lisa mengangguk kencang, mengamini apa yang Ade katakan. Berbahaya untuk ke sana. Apalagi keadaan sedang kacau balau. Bahkan, suara jeritan dan kerusuhan dari luar samar-samar terdengar sampai ke lab.

"Nggak usah. Gue nggak papa, kok," ujar Aca dengan senyum sumringah. "Gue bisa berdi-"

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, gadis berlesung pipi itu terhuyung ke belakang. Dengan sigap, Lisa dan Ade memegangnya agar tidak terjatuh. "Eh, Ca! Ya ampun!"

Frey mendengkus gusar. "Lutut lo bakal memar, Ca. Kita butuh pereda nyeri. Lagian kita nggak mungkin di sini terus, kan?"

Lagi-lagi Ade menoleh dengan ekspresi tidak setuju. "Tapi-"

"Pilihannya cuma dua," potong Frey. "Kita punya obat dan seenggaknya bisa nyari makanan sebelum gelap, atau kita kelaparan malam ini."

"Kalau dengan kelaparan gue tetap bisa bareng kalian, gue nggak keberatan." Suara Lisa bergetar, disusul dengan matanya yang memerah. "Gue takut. Gue nggak mau kehilangan kalian."

"Lis." Dengan tatapan sendu, Aca memegang pundak gadis bermata bulat di depannya.

"Kalian liat kan mereka yang di luar sana meregang nyawa dengan kondisi gimana? Mereka digigit! Dicabik-cabik isi perutnya! Hati gue sakit ngeliat mereka harus mati kayak gitu!"

Aca lantas merengkuh Lisa, lalu memeluknya hangat. Tubuh gadis yang didekapnya itu bergetar, Lisa menangis tanpa suara. Ade yang melihat itu mendengkus pelan, lalu menekuk lutut dan membenamkan wajahnya di lipatan tangan.

Memang, kekacauan yang mendadak datang entah darimana seolah meluluh lantakkan kehidupan mereka sebagai siswa SMA. Kenyataannya, mereka hanyalah seorang remaja yang tak pernah membayangkan untuk berada di situasi seperti ini. Mereka hanya tahu bertarung dengan soal di selembar kertas, bukan bertarung dengan mempertaruhkan nyawa dan orang terkasih seperti ini.

Frey memijat kening. Rasa kesal dan bingung menjadi satu. Keadaan sekolah yang kacau, juga mayat hidup yang berada di sana-sini membuat pikirannya berkecamuk. Apa yang Lisa katakan memang benar, tapi sedikit tidak realistis kalau kelaparan asal tetap bersama.

Gadis itu mendekat ke arah pintu. Tatapan tajam Aca lantas mengarah pada Frey, seolah melarangnya melalukan hal bodoh yang bisa membahayakan mereka, juga dirinya sendiri.

"Cek keadaan di luar," ujar Frey sedikit berbisik. Mau tak mau, ia harus klarifikasi karena ekspresi Aca semakin tidak bersahabat.

Gadis beralmet silver itu mengintip dari balik pintu kaca lab. Terlihat percikan darah mengering di dinding lorong yang lengang. Jejak darah ada di mana-mana. Lorong itu tampak kotor, berantakan, dan mencekam dalam waktu yang bersamaan.

Entah sampai kapan situasi ini berlangsung. Akan tetapi, Frey tahu mereka butuh strategi dan persiapan untuk bertahan. Ia melirik ke arah ventilasi. Dari arah cahaya matahari yang masuk, kemungkinan sekarang sudah di atas jam sepuluh pagi.

Setelah lama diam dan berpikir, Frey memecah keheningan di lab dengan berkata, "Oke. Kita nggak akan ke mana-mana."

• • • •

"Cepat!" Pria jangkung itu berlari kencang, sesekali menoleh ke belakang. Tepat di belakang Bu Rani, gerombolan zombi tampak bersemangat mengejar mereka.

Melihat jarak Bu Rani dan mayat hidup yang semakin menipis, dokter muda itu lantas berbelok ke ruang TU. Ia tersentak, di ruangan itu cukup banyak zombi sedang mukbang. Karyawan TU sudah tergeletak dengan darah yang menggenang. Dalam hitungan detik atau menit, dipastikan mereka akan menjadi mayat hidup juga.

Joshua mengangkat salah satu kursi yang dekat dengan pintu masuk, lalu ia melemparnya ke luar. Sebelumnya, pria itu memberi kode kepada Bu Rani untuk menunduk.

Berkat usaha Joshua, Bu Rani bisa memperbesar jarak dari para pemburu daging segar. Walau sebagian besar masih ngotot untuk mengejar.

"Kita harus ke mana?" teriak Bu Rani.

Joshua berlari menyusul wanita yang berada sepuluh langkah di depannya, lalu berkata, "Ke tangga arah lantai tiga!"

Keduanya memacu langkah lebih cepat. Bu Rani lebih dulu sampai dan menapaki anak tangga dengan gesit. Joshua yang baru tiba langsung menutup akses ke arah tangga dengan pintu teralis dan menguncinya. Ia juga menarik rantai besi yang menggantung di teralis dan berusaha mengikatnya. Belum selesai Joshua mengikat rantai, zombi-zombi sudah berdesakkan dan menabrakkan diri di pintu teralis.

Rantai hampir terlepas dari tangan Joshua kala pria itu menghindari tangan zombi yang berusaha meraihnya. Melihat itu, Bu Rani turun dan lantas mengambil tabung APAR yang terpajang di dinding. Ia memukul tangan para zombi dengan kuat.

"Cepat ikat rantainya!"

"Diusahakan." Tangan Joshua bergerak cepat, meski sedikit gemetaran. Selang sepuluh detik, rantai terlilit rapi di pegangan pintu teralis. Dia berhasil.

Joshua dan Bu Rani terduduk lemas di bordes tangga. Jantung mereka berdetak tak karuan. Keduanya menatap para zombi yang berdesakkan di balik pintu teralis. Sekolah elit ini benar-benar berubah menjadi neraka bagi penghuninya.

Mendadak terdengar suara yang cukup gaduh dari lantai atas. Bu Rani dan Joshua refleks menengadah, lalu bersitatap.

"Lantai ini seharusnya aman, kan?"

Joshua mengalihkan tatapannya ke arah anak tangga yang belum mereka naiki, lalu kembali menatap Bu Rani. Wanita di hadapan dokter itu gelisah. Dia tahu betul arti tatapan Joshua. Tidak ada jaminan bahwa lantai teratas di gedung ini aman.

"Kalau di lantai atas ada makhluk kayak mereka," Bu Rani melirik pintu teralis yang sudah dililit rantai. "Kita baru aja bunuh diri."

The IsolatedWhere stories live. Discover now