Ruang PKS dan Asrama

79 18 36
                                    

Pak Hartono mendadak masuk ke ruang siaran dan mematikan speaker dengan cepat. Hal itu membuat Joshua yang tengah memegang mikrofon terkejut dan langsung mengerutkan kedua alisnya. Selang beberapa detik, Bu Rani turut masuk ke ruangan dengan napas tak beraturan karena berlari.

"Kenapa, Pak? Saya mau mengingatkan anak-anak supaya mereka bisa selamat! Bapak nggak liat semua kekacauan ini?" sanggah Joshua tak terima.

Melihat Pak Hartono yang bersiap untuk membentak, Bu Rani langsung berkata, "Liat ke bawah sana."

Joshua melirik ke arah jendela dengan raut wajah yang tetap tidak bersahabat. Tampak gerombolan zombi berlarian menuju gedung utama. Siswa yang berusaha menyelamatkan diri pun akhirnya tetap meregang nyawa karena kalah jumlah.

"Mereka mendekat karena suara speaker di gedung ini yang paling keras. Pintu bawah sudah saya palangi sapu dan beberapa benda lain. Semoga mereka nggak berhasil masuk," ujar Bu Rani cemas. Wanita itu diam sebentar, kemudian kembali berujar, "Kalau di luar gedung utama sudah kayak gini, gimana dengan kelas?"

Mata wanita itu mulai memanas. Pinggir maniknya mulai dipenuhi dengan air mata. "Apa yang bakalan terjadi sama seluruh siswa?"

Pak Hartono menyerobot posisi Joshua yang berdiri di depan mikrofon, kemudian kembali menyalakan speaker. Hal itu membuat Bu Rani dan Joshua terkesiap.

"Untuk guru-guru yang sedang mengadakan evakuasi, prioritaskan level paling tinggi! Saya ulangi-"

Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, Joshua lantas mendorong Pak Hartono dengan penuh emosi. Wajah pemuda itu memerah, begitupun dengan matanya. "Sebenarnya Bapak manusia atau bukan? Mereka semua berhak untuk selamat!"

"Diam! Kamu nggak tau apa yang akan saya hadapi kalau terjadi sesuatu sama siswa level tinggi!" Pak Hartono mencengkram erat kerah baju Joshua dengan wajah merah padam. Napasnya naik turun tak beraturan dengan urat leher yang menegang.

Joshua melepas kasar tangan Pak Hartono dari kerah bajunya dan berkata, "Jadi Bapak mengorbankan orang lain untuk melindungi diri sendiri? Buka mata Bapak dan liat kondisi sekarang! Setelah mencoba menutupi kasus-"

"Joshua, cukup!" Bu Rani yang sedaritadi hanya menonton akhirnya angkat bicara. Wanita itu buru-buru memungut mikrofon yang tergeletak di lantai dan mematikannya. Melihat hal itu, Joshua dan Pak Hartono sedikit terperangah. Mikrofon belum mati, itu artinya pertikaian mereka dapat didengar semua orang yang ada di sekolah.

"Licik juga ya, kamu. Sengaja kamu ungkit kasus bunuh diri itu biar saya dipenjara? Kamu tau kan kalau mikrofonnya nggak mati? Jawab saya!" tegas Pak Hartono.

Joshua membuka jas putih yang ia kenakan. Netra legamnya menyorot dengan tak bersahabat. "Sengaja atau nggak, kenapa saya harus peduli? Bapak emang pantas membusuk di penjara! Kenapa? Pertama, Bapak mencoba menutupi kasus bunuh diri siswi! Kedua, Bapak nggak mengizinkan dokter di sekolah untuk melaksanakan tugasnya dengan baik! Bapak melarang saya bawa siswa yang sakit ke rumah sakit! Demi apa? Demi reputasi Bapak seorang!"

"Bapak takut kasus bunuh diri itu bocor ke publik. Hasilnya apa? Kejadian yang lebih parah terjadi di sekolah kita. Siswa yang sakit nggak bisa diobatin! Liat sekeliling Bapak! Apa yang terjadi sama mereka? Orang yang harus menanggung akibat dari semua kejadian ini bukan siswa dari level terendah," Joshua mengarahkan jari telunjuknya pada Pak Hartono, "Tapi Bapak!"

"Kurang ajar!"

"Diam!!" teriak Bu Rani sambil menghempaskan mikrofon yang dia pegang. Pak Hartono yang hendak melayangkan tinjunya pada Joshua seketika berhenti.

Bu Rani menarik Joshua ke sebelahnya, lalu menatap tajam pria berkulit sawo matang di depannya. "Kalau salah, seenggaknya Bapak tau malu! Berhenti menyalahkan orang lain! Saya nggak peduli sama apa yang Bapak mau sekarang. Keadaan sudah kacau. Kita nggak ada waktu untuk berdebat! Ini bukan masalah reputasi Bapak, tapi masalah nyawa seluruh siswa."

The IsolatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang