Kepanikan dan Kekhawatiran

60 15 16
                                    

"Naikkan dosisnya!" Suara Joshua bergema di ruang PKS (Pusat Kesehatan Sekolah). Pemuda tinggi semampai itu berjalan cepat sambil menatap sekeliling, mengawasi petugas klinik lainnya yang sedang menyuntikkan obat penenang pada belasan siswa Platinum. Suara mengerikan dari siswa-siswi itu mengudara dan memenuhi ruangan, menciptakan suasana tegang sekaligus mengerikan.

Joshua mengernyit. Kepalanya mulai berdenyut karena tidak tidur semalaman. Urusan tentang siswa yang jatuh sakit membuatnya kewalahan. Obat penenang sepertinya tidak berefek banyak. Jika terus disuntikkan, mereka hanya akan kehabisan obat.

Ia membuka jas putih panjangnya, lalu melonggarkan dasi yang melingkar di leher. Sekali lagi, dia menatap ruangan PKS yang nyaris penuh. "Nggak ada jalan lain, harus ke rumah sakit."

"Pak Hartono nggak akan setuju."

Suara seseorang dari sebelah kirinya membuat Joshua sedikit terlonjak. Ia mengerjap melihat Joy yang entah kapan berada di dekatnya. Gadis yang terkenal tegas dan teguh pendirian itu menurunkan masker medis yang menutupi sebagian wajahnya dan berkata, "Lo tau sendiri Pak Hartono gimana. Citra sekolah lebih berharga daripada nyawa."

Joshua mendengkus, lalu mengacak rambutnya. "Kenapa selalu dipersulit, sih? Ini kondisinya makin serius! Kita udah berusaha semalaman, ngasih mereka obat-obatan yang menurut kita bakal membantu. Tapi hasilnya? Nggak ada. Joy, coba lo bicara sama Pak-"

"Lo udah tau akhirnya gimana walau gue ngomong. Pak Hartono nggak akan ngubah keputusannya untuk menutupi ini," potong Joy sambil melirik siswa-siswi Platinum yang diikat menggunakan sabuk di kasur, kemudian kembali menatap pemuda di hadapannya. "Ini udah kayak All of Us Are Dead versi real."

"Jadi sekarang gimana? Jujur gue udah nggak bisa mikir cara lain, kecuali bawa mereka ke rumah sakit," ujar Joshua frustrasi.

"Biar gue yang ke rumah sakit."

Joshua mengernyit. "Maksud lo?"

Joy memasang kembali masker medisnya sambil berkata, "Ambil darah mereka sebagai sampel."

Pemuda berkulit putih itu menatap Joy lekat. "Terus cara lo keluar dari sekolah gimana? Pak Hartono kan nggak ngizinin siapapun keluar karena kasus Dara. Bisa jadi reporter masih ada di luar sana."

Gadis berpapan nama Joy Olivia itu tersenyum miring. "Itu urusan gue, lo nggak usah pusing. Cepat ambil sampel darah mereka!"

• • • •


Gabriel memijat keningnya. Dia tidak bisa fokus mengerjakan ujian karena kejadian mengerikan semalam yang terus terngiang-ngiang bak kaset rusak di kepalanya. Hampir tujuh kali gadis itu membaca soal fisika di kertas, tetapi tak kunjung paham. Kilasan gadis kasir yang membuatnya seakan trauma itu sangat mengganggu.

Gabriel ingat betul bagaimana gadis itu menatapnya lapar. Rambut panjang awut-awutan, suara aneh yang keluar dari mulutnya, tubuh membiru dan nyaris membusuk, serta jalannya yang terseok-seok. Itu zombi, bukan? Jika malam itu dia tidak selamat, bagaimana?

Suara batuk seseorang membuat Gabriel terkesiap dan menoleh ke arah kiri. Teman sekelasnya yang bernama Bian terlihat tidak sehat. Detik berikutnya, cairan berwarna merah gelap keluar dari hidung pemuda itu dan menetes, mengotori lembar jawaban di meja.

Gabriel tidak bisa memalingkan wajahnya sedikitpun. Ia menggenggam pensil ujian dengan keras untuk melampiaskan kekhawatiran yang perlahan menggerogotinya. Kecurigaan dan terkaan-terkaan yang muncul di kepalanya berusaha ia hilangkan. Nggak, nggak akan ada hal buruk yang terjadi, batinnya.

Bian berdiri dan berjalan ke meja guru, berniat mengganti lembar jawabannya dengan yang baru. Sesekali ia menengadahkan wajah agar mimisan yang dialaminya berhenti. Baru berjalan empat langkah, pemuda berkulit sawo matang itu mendadak tumbang. Seisi kelas terkejut dan langsung heboh.

The IsolatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang