"Jemal, kau dengar?" Alan sedikit berteriak.

Alan masih tetap bergeming.

Kesabaran Jian habis. Persetan dengan perjanjian awal untuk tidak menyentuh kamar tuan rumah. Jian langsung membuka pintu tinggi itu lalu menerobos masuk.

Redup.

Harum khas musk bercampur dengan aroma freesia dan rasberi langsung menyambut Jian, pemuda itu melangkah mendekati tempat tidur dan mendapati Alan berada disana.

Hatinya mencelos ketika melihat si–pemilik kamar berbaring di atas ranjang berselimut tebal hingga menutupi dada. Matanya tertutup rapat dengan kening berkerut dan nafas yang temponya lebih cepat.

Jian cepat-cepat menaruh bawaanya di atas nakas lalu, menyentuh bahu Alan dengan punggung tangannya.

"Alan" Jian memberanikan diri untuk memanggilnya.

Alan perlahan membuka matanya lalu mengerjap melihat Jian yang sudah berdiri di tepi tempat tidurnya.

"Jangan menakutiku, sialan!" Jian mengumpat. Entah sudah berapa kali jantungnya hampir lepas dari tempatnya.

Alan menutup matanya lagi lalu tersengal dengan tawanya.

"Kau sekhawatir itu?" Alan membuka mata lalu menyelipkan keluar kedua tangan dari selimut tebalnya.

"Jika kau mati, aku adalah orang yang pertama kali dimintai pertanggung jawaban"

Alan tertawa lagi. Padahal seharusnya dia marah karena Jian sudah melanggar aturan.

"Maaf aku lancang masuk ke kamarmu. Aku terpaksa karena kau sama sekali tidak menyaut" Jian bicara jujur dan bersiap-siap jika setelah ini Alan akan menyuruhnya keluar dari kamarnya.

"Tidak apa-apa, aku hanya sedang tidak ingin bangun dari tempat tidur" Jawaban Alan cukup membuat Jian heran. Entah kemana peraturan yang dulu dibuat langsung oleh sang tuan rumah—dimana ia melarang Jian untuk masuk ke dalam kamarnya.

"Kau ingin aku memanggilkan dokter?" Tanya Jian.

"Aku hanya tidak enak badan, bukan sakit parah atau sekarat. Tubuhku akan kembali sehat setelah tidur seharian"

"Tapi kau sampai tidak makan seharian. Jika kau memberitahuku, aku akan menemanimu"

Alan mendongak menatap Jian dan menarik garis di bibirnya "Kau menolak panggilanku semalam, Meir" Alan bergumam, membuat Jian merutuki kebodohannya.

"Maaf. Aku sedang minum bersama Nath" Nada Jian terdengar lemah.

"Minum? Jam berapa kau pulang?"

"Sekitar jam 2 pagi" Mimik wajah Jian terlihat merasa bersalah.

Alan mengangguk "Tidak apa-apa. Kau juga butuh waktu untuk dirimu sendiri" Alan menarik seutas senyum hingga dua lesung pipi yang terukir sempurna terpampang begitu indah di wajah pucatnya.

Jian mengerjap tak ingin lebih dalam menikmati sesuatu yang sudah dianggap menjadi salah satu favoritnya "jika kau butuh sesuatu kau bisa menghubungiku. Jangan khawatir, aku pasti akan menjawabnya"

"Tidak, kau di sini saja" Alan bangkit, mendudukkan tubuhnya lalu bersandar pada dipan tempat tidur.

Jian diam, bingung dengan sikap Alan. Dia selalu sukses membuat hatinya berdebar tak karuan.

Alan hanya boleh bersikap menyebalkan.

"Di sini saja" Alan mengulang, tahu Jian nampak tak yakin dengan kata-katanya.

Jian lalu menggaruk puncak kepalanya dan menatap Alan penuh ragu "Setelahnya kau tidak akan mengusirku, kan?"

"Tidak akan ada yang bisa mengusirmu dari tempat ini bahkan diriku sendiri" Wajah Alan terlihat lebih serius.

Middle Name | JAEWOO [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang