22

17.2K 1.6K 154
                                    

"Ayah ibu apa kabar?" Arvi tersenyum tipis, menyapa tempat pengistirahatan terakhir kedua orang tuanya.

"Maaf tak mengunjungi kalian selama ini, lihat aku datang bersama cucu kalian. Namanya Ezra, dia anak yang tampan dan baik." Arvi melirik Ezra.

"Hai kakek, nenek. Namaku Ezra, aku kesayangan papa dan baba." Ezra menyapa, walau terlihat bodoh karena yang ia sapa hanyalah nisan.

Arvi mengusap kepala Ezra, setelah sekian lama kembali ia menapaki bumi tempat kelahirannya. Ia kembali setelah sekian lama dan sudah berdamai dengan segalanya. Bawen menepati janjinya, membawa ia dan Ezra ke sini sekalian ikut pria itu yang kembali pindah ke rumah semula.

Sebenarnya Bawen sudah pergi lebih dulu ke sini, barulah ia menyusul dan Ezra setelah sang anak libur semester. Padahal terasa kemarin Ezra baru masuk sekolah dasar tapi sebentar lagi si kecil sudah masuk semesta dua.

"Mau bicara dengan mereka dulu? Biar aku mengajak Ezra pergi sebentar," ucap Bawen yang sedari tadi diam, ucapannya di angguki si manis.

Tinggallan Arvi di sini sendiri, menatap nisan yang sudah lama tak ia kunjungi.

"Putramu baik-baik saja bu sekarang, berkat pria tadi. Dulu aku ingin menyusul tapi semesta mengirim Bawen padaku. Andai ayah dan ibu masih di sini, mungkin Ezra akan senang. Dia selalu menanyakan apa ia punya kakek dan nenek, aku selalu berkata punya walau kalian sudah tiada. Ayah Ezra mungkin tak tahu jika di dunia ini ia memiliki anak dariku, terlebih kedua orang tua pria itu, jadi kukatakan saja nenek dan kakeknya sudah bahagia di surga." Arvi berceloteh layaknya berbincang dengan sosok yang masih hidup.

"Bu apa manusia miskin seperti kita tak layak dicintai? Jujur saja kilasan masa lalu begitu membunuhkan di setiap waktu, aku mati di setiap mengingat kejadian itu. Mereka menghinaku bu, ayah ... mereka meninggalkan putramu, sampai aku mengutuk takdir. Apa adil melupakan segalanya setelah apa yang mereka perbuat?" tutur Arvi.

Arvi mulai terisak saat mengingat hal yang telah ia lewati selama ini. Si yatim piatu yang malang, bertarung dengan takdir sampai bercucuran darah. Penghinaan, pengkhianatan dan kebohongan menjadi kombo yang menjadikan luka itu ledakan. Manusia mana yang akan baik-baik saja dan sembuh cepat akan hal itu?

Lamunan Arvi buyar saat mendapat elusan di tangannya. Ia melirik Ezra yang sudah kembali bersama Bawen.

"Papa sangat merindukan kakek dan nenek ya? Sampai menangis?" ucap si kecil, ia terkejut saat mendengar isakan sampai memaksa Bawen untuk kembali menemani Arvi.

Arvi berusaha tersenyum, ia memeluk Ezra.

"Iya sayang ... papa rindu, sampai rasanya sesak sekali. Tolong obati papa, papa takut Za," bisik Arvi serak.

Ezra melepas pelukan Arvi, ia mengusap pipi sang papa lalu mencium pipinya.

"Jangan bersedih, matahari ada di sini tak usah takut." Ezra tersenyum manis.

Ya, mataharinya di sini. Kenapa Arvi harus takut menghadapi kegelapannya? Ezra ada bersamanya.

__________

"Daddy  dan papa, coba kalian berdiri di sana. Kio akan foto," ucap si kecil.

San dan Elio menuruti, keduanya berdiri dekat rak boneka.

"Wahhh ... ini sempurna!" Kio memekik, "lihat hasilnya sangat bagus!"

San langsung menghampiri, ia mengacak surai si kecil gemas dengan tingkah lucunya.

"Iya ini lucu," ucap Elio.

"San aku pergi ke toilet dulu ya." Elio memberikan paper bag pada sang dominan, San hanya mengangguk.

"Daddy ... saat kenaikan kelas nanti, jangan lupa hadiah untukku ya," ucap Kio.

"Tentu saja." San mengecup pipi Kio.

"San!"

Mendengar teriakan seseorang San menoleh dan mendapati sahabatnya yang sudah lama tak bertemu, ia balas melambai.

"Sudah lama sekali kita tak bertemu." San membalas jabat tangan Hia.

"Kau benar ... sudah lama sekali ya," sahut San.

"Setelah menikah kau benar-benar sulit dihubungi, bukan hanya kau tapi juga Bawen bahkan rumah dia ditempati  oleh beberapa pelayan saja," tutur Hia.

San hanya tersenyum tipis, ia tahu akan hal itu. Bawen pergi membawa Arvi, wajar saja jika temannya yang satu ini sulit dihubungi.

Terlibat perbincangan ringan saking antusiasnnya sampai San melupakan Kio, ia tak sadar jika Kio sudah tak ada di sampingnya.

Kio, anak itu berlari menghampiri badut di depan pintu masuk toko.

"Baduttt ... "

"Wahh ... "

Kio berbinar, saat berhasil berhadapan dengan badut.

"Paman, bisakah aku meminta foto?" Kio bertanya.

"Tentu saja manis," sahut badut.

Kio mengedarkan pandangannya, ia ingin meminta bantuan sampai matanya menemukan sosok yang mungkin bisa membantunya. Ia kembali berlari.

"Hei ... bisakah kau bantu aku?" Kio memegang lengan anak yang mungkin seumuran dengannya.

"Bantu apa? Cepat katakan, aku kepanasan." Bocah itu menyahut ketus, bukan tak suka dimintai bantuan hanya saja ia kesal pada orang tuanya yang harus berhenti diperjalanan demi membeli kue dan barang lain, menyebalkan.

"Aku akan mentraktirmu es krim, tapi bantu aku foto bersama paman badut." Kio kembali berucap.

Terdengar helaan napas, tapi bocah itu mengangguk setuju dan mulai mengambilkan foto. Dalam hati ia menggerutu, apa manfaatnya berfoto dengan badut? Seperti bayi saja.

Setelah beberapa kali jepretan, akhirnya selesai.

"Terima kasih ya," ucap Kio. "Siapa namamu?" sambungnya.

"Sama-sama, namaku Ezra." Bocah yang tak lain si Ezra menyahut tak acuh, matanya mengedar melihat apa orang tuanya sudah selesai karena tadi ia berjanji akan menunggu di mobil, tapi bosan dan panas menjadikan alasan ia keluar.

"Wah nama yang bagus. Namaku Kio." Kio tampak bersemangat.

"Kau sendirian ke tempat seperti ini?" tanya Ezra.

"Aku bersama daddy dan papaku, mereka ada di dalam, " jawab Kio. "Ayoo ... kita beli es krim di sana, aku memiliki uang di saku celanaku," sambungnya.

"Tapi ... "

"Aku sudah sering ke tempat ini, kau tak perlu khawatir. Ini dekat dengan rumahku, kau tak akan tersesat selama bersamaku." Kio menarik lengan Ezra, membuat anak pemalas itu terpaksa ikut karena di seret.

Dua anak lugu tanpa noda dosa, menjadikan pertemuan yang mungkin akan kembali mengacak benang yang sudah dirangkai sedemikian rupa. Tak ada kebetulan, semesta memang sengaja menggariskan takdir di hari ini.

"Es krim vanila dan coklat dua."

Sebuah es krim yang membuat tali pertemanan tertaut tanpa kata, keduanya tampak senang saling mengenal. Ezra dan Kio, dua anak yang tak tahu betapa kejamnya kehidupan masa lalu, tanpa tahu siapa orang dewasa dibalik keduanya.

Rasanya terlalu kejam jika keduanya tahu, mungkin bukan hanya benang tua yang terurai melainkan benang muda yang baru saja muncul tanpa sadar.


_____

Mampus gue triple up, tantrum-tantrum lo pada bacanya sampe gimoh








SECONDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang