6

14.9K 1.3K 38
                                    

Ringisan terdengar lirih dipagi hari, kedua mata itu mengerjap membiasakan dengan bias lampu. Arvi mendudukkan dirinya, ia melirik ke samping, kosong.

"San," panggilnya, berharap sang kekasih belum pergi.

Arvi dengan langkah gontai, pergi ke dapur. Sepi, yang berarti San sudah pergi bekerja, lagipula ini sudah pukul sembilan siang.

Ditegakknya segelas air sampai tandas, Arvi merasa menyesal semalam harus mabuk membuatnya pening berakhir kesiangan dan tak masuk kerja. Terlintas tingkah gilanya semalam, membuat dirinya malu.

Bagaimana bisa ia bertingkah jalang pada San, itu sungguh bukan dirinya. Ia sudah seperti jalang penggoda, memalukan. Ia membentur-benturkan kepala pada meja, berharap bayangan memalukan itu enyah.

"Apa yang kau lakukan?"

Arvi mendongak, terkejut mendengar suara San. San berdiri dihadapannya dengan dua tote bag ditangannya, ternyata pria itu tak bekerja juga.

"Apa kepalamu masih sakit?" tanya San lagi membuat Arvi menggeleng.

San menghela napas, ia menyiapkan sarapan. Ya, ia memang tak pergi bekerja memilih pergi membeli sarapan, melihat bagaimana Arvi mabuk semalam pasti itu terasa pening setelahnya.

"Makan sarapanmu, hari ini tak usah bekerja." San menyodorkan sepiring makanan.

Arvi masih diam, ia berharap San melupakan kejadian semalam.

"San ... " Arvi membuka suara, ia menatap sang kekasih. "Apa semalam aku berbuat hal buruk padamu?" sambungnya.

San menatap balik Arvi, keduanya saling menatap diakhiri dengan helaan napas San, pria itu mengelus surai sang submisif, lalu menggeleng.

"Tidak," ucapnya.

Arvi menunduk, tidak? Bahkan dengan sangat jelas Arvi melihat bekas kemerahan di leher San.

"Aku tak suka kau mabuk, jangan sampai kau melakukan hal itu lagi," ucap San. Ia begitu tak suka melihat Arvi harus merasakan pening seperti ini setelahnya.

Arvi mendongak, ia melihat San yang menatapnya tampak kesal.

"Maaf," ucapnya.

"Sudahlah makan saja, aku ingin mandi." San beranjak meninggalkan Arvi dengan makanannya.

_____

Sore hari memang waktu yang pas untuk menghabiskan waktu berdua dengan orang tercinta di temani dengan secangkir teh. Di sinilah Arvi dan San menikmati sore di balkon dengan Arvi yang meringkuk dipangkuan sang kekasih.

Hari ini seharian penuh San menghabiskan waktunya dengan Arvi.

"San, terima kasih untuk hari ini. Ini sangat menyenangkan." Arvi memberi kecupan ringan di pipi sang dominan.

San tak menjawab, ia memilih mengelus kepala Arvi dengan mata yang masih memandang lurus melihat kepadatan kota.

Arvi menenggelamkan kepalanya diceruk leher San, ia sangat menyukai bau San karena terkesan begitu maskulin. Ditatapnya rahang tegas sang kekasih, Arvi tersenyum tipis. Pria ini, pria yang memberinya banyak warna, apa Arvi akan sanggup jika suatu saat San meninggalkannya? Hal yang selalu Arvi pikirkan adalah hal itu, San yang meninggalkannya. Terdengar berlebihan tapi begitulah kebenarannya, tak ada yang bisa Arvi banggakan dari dirinya, sebenarnya ditilik dari manapun ia dan San sama sekali tak sejajar. Arvi hanyalah submisif yang banyak bergantung pada dominannya. Bukankah itu hal wajar? Tak begitu percaya diri jika bersanding dengan sang kekasih yang notebene memiliki perbedaan yang begitu kentara.

Di tengah manisnya momen sepasang kekasih, ponsel sang dominan berdering. Arvi mengurai pelukannya memberi waktu untuk San mengangkat telepon.

San tampak serius dengan panggilannya, ia melirik jam tangan lalu mengangguk seolah menyanggupi sesuatu.

"Ada apa?" tanya Arvi saat San menghampirinya dengan raut yang sulit dijelaskan.

"Aku harus pergi," ucap San.

"Kemana?" Arvi kembali bertanya, mengekori San yang masuk dan langsumg bersiap.

"Aku harus menemui Elio," sahut San, ia memakai sepatunya.

Arvi berdecih, dengan tingkah kekanakan ia merentangkan tangan di depan pintu menghalangi San yang akan pergi.

"Vi, ayolah." San menghela napas, tak suka akan sikap Arvi yang selalu berlebihan.

"Tak bisa, sehari ini saja kau temani aku. Kita berbagi cerita, lalu menikmati secangkir teh dengan tawa, kenapa begitu sulit bagimu?" tutur Arvi, ia kukuh menghalangi San.

"Jangan membuatku marah Vi, Elio membutuhkanku. Menyingkirlah, ini mendesak," ucap San, suaranya sudah mulai meninggi.

Arvi si keras kepala, menggeleng dan tetap menghalangi pintu.

"Bukankah teman Elio tak hanya kau saja? Masih ada Bawen dan Hia, keduanya bisa membantu Elio, kenapa dia selalu meminta bantuanmu?!" ucap Arvi.

"Kenapa kau kekanakan? Mereka tak begitu dekat dengan Elio, wajar saja Elio meminta padaku, aku teman dekatnya. Jadi tolong menyingkir, sebelum kau menjadi pembunuh sialan!" San mendorong Arvi, membuat Arvi terhuyung ke samping. Demi neptuna, San sangat buru-buru ia tak bermaksud.

Arvi bergeming, membiarkan kekasihnya itu melangkah pergi. Lagi dan lagi ia bertingkah kekanakan, San pasti muak jika ia terus seperti ini. Cemburu itu sulit dikendalikan, nama Elio sangat sensitif dipendengarannya.

Arvi terduduk lemas, terkadang sebuah tindakan harus memilik pertimbangan. Entah siapa yang salah, ia atau San. Ia memang selalu berlebihan mengenai hubungan mereka, Arvi akan berusaha untuk biasa saja walau sulit.

_____

Sorry baru up, btw ini segini dulu huhuhu ...

Tipis-tipis dulu baru lebaran, soale konfliknya lumayan AHAHAHA





SECONDWhere stories live. Discover now