20

18K 1.6K 261
                                    

"Baba! Baba kemarilah cepat!"

"Ada apa, kenapa berteriak?" Bawen menghampiri Ezra yang saat ini tengah berdiri di depan cermin.

"Kemarilah," ucap Ezra.

Bawen mensejajarkan tingginya dengan si kecil.

"Baba ... kenapa kita tidak mirip? Mataku berbeda dengan baba," ucap Ezra tiba-tiba, "lihat mata baba sipit sedangkan aku tidak," sambungnya.

Bawen terdiam, ia menatap dirinya dan Ezra dipantulan cermin. Ya, keduanya sama sekali tak mirip. Bukankah anak kecil ini mirip dengan San? Keduanya mirip sekali, Bawen tak tahu harus mengatakan apa. Ini pertanyaan pertama yang tak bisa Bawen jawab dari Ezra.

"Memangnya harus ya mirip? Bukankah kita saingan?" celetuk Bawen berusaha mengajak Ezra dalam candaan.

Ezra menggeleng, wajahnya murung. Ia mengusap pantulan dirinya dicermin, menelisik wajah yang sama sekali tak mirip dengan sang ayah.

"Baba ... kenapa tak mirip? Ak-aku ingin seperti baba, walau aku tampan tapi aku ingin seperti baba!" Mata si kecil memerah menahan tangis, tak terima akan hal yang baru ia sadari.

"Kau mirip papa, karena papa sangat menyayangimu seluas dan sedalam lautan tak terbatas, jadi babamu ini tak kebagian. Jangan menangis oke, bukankah kau ingin menjadi anak keren?" tutur Bawen menenangkan. Ia mengusap bahu yang mulai bergetar.

"Besar ... nanti, apa aku akan mirip denganmu?" Ezra mendongak, air mata sudah terjun di pipi.

"Jangan pernah mau mirip dengan siapapun, Ezra adalah Ezra. Kau memiliki sesuatu yang tak orang lain punya, Za ... jadilah diri sendiri yang berbaik hati, tak usah ingin menjadi seperti orang lain. Kamu adalah kamu yang terbaik," tutur Bawen, Ezra terisak memeluk Bawen.

Kata teman barunya tadi, seorang anak akan mirip ayah atau ibunya. Tapi Ezra baru sadar ia tak begitu mirip dengan sang papa apalagi dengan babanya, tentu saja ia bersedih akan hal itu.

Bawen mengusap kepala Ezra, anak yang tak pernah tahu ayah kandung yang sebenarnya siapa. Harus Bawen akui ia sangat menyayangi Ezra, meski anak ini bukan darah dagingnya. Tak bisa Bawen bayangkan jika suatu hari Ezra akan meninggalkannya dan berlari pada San, Ezra itu anaknya. Bawen egois, memang.

Jika suatu saat San datang, Bawen tak akan sudi memberikan Ezra pada San. Ialah yang menemani Arvi saat-saat hamil, melahirlan lalu merawatnya. Ia masih ingat bagaimana dulu Arvi hampir kehilangan Ezra karena depresinya.

"Baba sayang padamu, jangan pernah tinggalkan baba dan papa Za," bisik Bawen tulus.

Ia sudah melepas kehidupannya demi bersama dua orang yang dulu sangat ia kasihani. Bawen rela melawan seluruh dunia demi mempertahankan dua orang ini, menutup telinga saat orang tuanya menentang, Bawen melakukan itu semua sampai rasanya tak rela jika San datang lagi apalagi sampai merebut keduanya.

Bawen mencintai Arvi? Entahlah, ia sudah tak percaya akan hal itu, yang Bawen tahu ia sangat menyayangi Arvi baginya Arvi berarti, ia menganggap Arvi adiknya. Tak ada yang boleh menyakiti adiknya itulah yang ia tanamkan dalam pikiran dan hatinya.

_______

Kepulan asap menguar di udara, diam di balkon setiap sore hari memang menenangkan, ia menatap datar anak kecil yang tengah bermain dengan putranya di halaman. Sudah tujuh tahun, ia melihat perkembangan anak itu.

Anak yang bahkan ia tak tahu siapa ayahnya, tapi putra tersayangnya rela memungut sampah itu.

"Teater yang banyak memakan korban," gumamnya, asap keluar dari belah bibirnya.

"Sedang apa kau di sini?"

Jane melirik Maven yang baru saja datang, ia tersenyum manis pada sang suami.

"Aku sedang melihat betapa bahagianya cucu dan putramu," sahut Jane.

Maven mengangangguk, ia ikut bergabung melihat yang di maksud Jane.

"Sudah tujuh tahun mereka bersama, senang dengan keadaan putramu?" celetuk Jane, senyuman yang terpatri diwajahnya sudah tidak lagi terlihat manis tapi terkesan menusuk.

"Apa maksudmu?" ucap Maven.

"Tidak, hanya saja bukankah maha karya kita sudah sedewasa ini. Sampai aku tak bisa meraih punggungnya," tutur Jane.

"Ya, San sudah dewasa bahkan sudah menikah dan memiliki anak. Ia menerima Elio, Bukankah mereka sudah bahagia sekarang?" ucap Maven membuat Jane terkekeh.

Jane kembali menyesap nikotin, tatapannya menajam saat gelak tawa terdengar. Sangat bahagia huh? Sampai tawa terdengar dari kejauhan.

"Aku berharap San bahagia, selama ini aku kurang punya waktu dengannya." Setelah mengatakan itu Maven kembali masuk, meninggalkan Jane yang menyeringai mendengar ucapannya.

"Kau juga yang berkontribusi dalam kehancurannya," ucap Jane pelan. "Mengharapkan kabahagiaan putramu? Sedangkan ucapan dan tanganmu juga yang melukainya," sambung Jane.

Ia menggilas putung rokok, lalu ikut masuk sudah enggan melihat kebersamaan San dan Kio.

Benarkah tawa keras adalah bukti kebahagiaan? Walau tawa itu tak membuat mata berbinar?

Tertawa tapi tatapan kosong, seolah hanya mengikuti arus sungai tak peduli menghantam bebatuan atau arus curam, karena semua hampa. Bahkan kematian mungkin lebih baik dari pada hidup dalam kehampaan.

Sebagian jiwanya hilang sampai yang tersisa jiwa pasrah akan keadaan. San menggelitik Kio, berusaha mempertahankan tawa sang anak.

Semua layak bahagia, tapi San menghancurkan kebahagiaan yang lain. Raga seseorang tak bisa dibelah dua sampai harus merelakan salah satunya.

"Bukankah lebih baik jika dulu kita pergi yang jauh Vi, lebih baik kita pergi bersama dari pada terpisah oleh waktu dan jarak. Bagaimana apa kau bahagia dengan Bawen? Kumohon berbahagialah, kau submisif hebat ... apa anakku tak merepotkanmu? Maaf tak bisa merawatnya, jangan beri tahu dia jika Bawen bukan ayahnya, dia akan malu jika tahu memiliki ayah bajingan sepertiku. Kau tahu? Setiap hari aku ingin melukai tanganku setelah memeluk Kio, di sini aku memeluk anak orang lain sedangkan di sana anakku dipeluk orang lain."

Selain Kio, ada anak yang tak tahu jika ia ayahnya menjadi alasan San masih di sini. Ia menyimpannya sendirian, tak membiarkan siapapun tahu akan hal ini. Baginya melihat darah dagingnya dari kejauhan sudah menjadi hal paling ia syukuri, terlalu tak tahu diri jika ia meminta haknya.

Bahagia Arvi dan Ezra adalah hal yang paling ia harapkan, walau bahagia mereka tak bersamanya, San rela.

San tanpa Arvi hancur, tapi tak akan San biarkan Arvi hancur tanpanya.













SECONDUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum