10

19.3K 1.5K 121
                                    

Waktu terus berjalan tak ada yang berubah, entah hubungannya dengan Arvi ataupun Elio. Menurut San keduanya memiliki tempat yang berbeda dalam hatinya, tentang Jane yang mendatangi Arvi ia tahu soal itu, sang kekasih memberi tahunya. Ia pikir ibunya akan marah atau menyakiti Arvi melihat bagaimana Jane yang begitu menginginkan hal perfect dalam apapun.

Arvi kekasihnya dan Elio sahabatnya, Elio adalah teman yang selalu ada untuknya. San menghabiskan waktu bersama Elio jauh lebih banyak dan ia terbiasa akan hal itu. San tahu, perbuatannya menyakiti Arvi dan ia juga ingin berubah tapi hal itu sulit untuk dilakukan, di saat ia akan berlari menghampiri Arvi ada saja hal yang harus ia lakukan dulu agar sahabatnya tak terluka. Seperti saat ini, seharusnya ia menepati janji untuk pergi kencan bersama Arvi tapi San harus ke rumah Elio dulu, sahabatnya tengah butuh dirinya saat ini.

Pintu utama rumah ia buka kasar, di sana di ujung anak tangga Elio tengah meringkuk dengan tangis yang semakin menjadi saat ia datang. San langsung memeluk Elio, membuat submisif itu menumpahkan segala tangisnya.

"Tenanglah, kau aman sekarang." San mengelus pipi Elio, menghapus jejak tangis.

"Ak-aku harus apa San? Aku ... aku tak bisa lagi, aku sudah tak tahan." Elio mengeratkan pelukannya.

San memejamkan matanya, meredam amarahnya yang kian semakin memuncak.

"Dimana bajingan itu?" San melepas pelukannya. "Katakan dimana bajingan gila itu?" sambungnya.

"Aku tak tahu, dia sudah pergi lagi," sahut Elio.

San mengepalkan kedua tangannya, ia ingin sekali menghajar ayah dari sahabatnya ini. Ya, teman ayahnya  seorang bajingan, San tak habis pikir bagaimana bisa ayahnya memiliki teman bajingan seperti ayah Elio. Nadev, ayah Elio saat ini di ambang kebangkrutan dan hal ini sudah terjadi kedua kalinya, bahkan Maven sudah sering membantu tapi Nadev selalu melakukan kesalahan yang sama.

Nadev pria yang memiliki tempramental buruk, ia selalu melampiaskan amarah pada Elio. Di matanya Elio adalah investasi dan juga maha karya yang tak boleh gagal. Bukan sekali dua kali, Elio mendapat perlakuan buruk bahkan tak segan Nadev memukuli Elio sampai anaknya ini harus dilarikan ke rumah sakit. San begitu prihatin pada nasib Elio, kenapa anak sebaik dia harus menjadi anak dari seorang ayah bajingan dan kenapa pula ibunya harus pergi lebih awal, meninggalkan anak yang masih butuh perannya. Ya, terkadang manusia tak bisa menebak apa yang semesta rencanakan.

"Ayo pergi dari sini," ucap San membuat Elio mendongak.

"Kau bisa tinggal bersama mommy atau bersamaku dan Arvi," sambungnya.

Elio menggeleng, ia mengingat ucapan Arvi beberapa minggu lalu. Elio menanamkan semua perkataan Arvi, ia tak mau merusak hubungan keduanya, Elio tak ingin menjadi hama bagi hubungan orang lain. San satu-satunya orang yang mengerti dirinya, dan saat ini sahabatnya sudah memiliki kekasih, Elio harus tahu batasan walau nyatanya ia butuh akan sosok sahabat yang selalu ada di sampingnya.

"Aku tak mau menjadi hama dalam hubunganmu dan Arvi, dia pasti tidak suka. Jangan berlebihan, ayah akan kembali seperti biasa setelah ia sadar," tutur Elio.

San menghela napas, yang dikatakan Elio benar. Namun ia begitu mengkhawatirkan sahabatnya ini.

"Baiklah, sekarang ayo ganti bajumu. Kita pergi ke suatu tempat." San mengelus kepala si manis, menghibur Elio adalah hal yang harus ia lakukan.

Berbeda dengan dua orang di sini, di tempat lain seorang submisif memanyunkan bibirnya, kesal karena sang kekasih belum juga datang. Arvi duduk di cafe sudah hampir satu jam lebih, tapi San belum juga datang. Padahal pria itu menyuruhnya menunggu di sini.

Helaan napas terdengar berat, Arvi memandang ponselnya berharap San mengirimkan pesan. Tapi nihil, hal itu tak kunjung datang.

Arvi sudah memesan kopi dua kali untuk mengusir rasa bosan, tapi hal itu tak kunjung membuat rasa jengkelnya hilang.

"Sebenarnya kau mencintaiku atau tidak San?" gumam Arvi menatap foto San yang ia jadikan wallpaper.

Jarang menghabiskan waktu bersama, tak ada panggilan manis, bahkan kata cinta saja jarang di dapat. Arvi harus menggantungkan hubungannya pada hal apa? Kepercayaan? Bahkan saat ini rasa itu kian mengikis akan waktu. Arvi merasa San semakin jauh dari gapaiannya, seolah dominan itu bukan kekasihnya.

Terkadang Arvi ingin berhenti mengejar, ia ingin berhenti berusaha menyamai langkah San.

"Ternyata aku tak begitu penting dalam hidupmu San," ucap Arvi, air matanya kembali tumpah saat melihat story media sosial sang kekasih saat ini. San melupakan janjinya untuk menemani Elio, bahkan dengan jelas Arvi melihat bagaimana keduanya bahagia sampai memposting hal tersebut.

Postingan akun media sosial San tentang dirinya bahkan bisa dihitung jari dan tak lebih dari tiga, Arvi menunduk melihat secangkir kopinya yang setengah telah ia minum.

Satu jam lebih ia menunggu dan berakhir sia-sia. Arvi beranjak membawa kekecewaannya pulang, berharap hal ini bisa terobati jika San juga sudah pulang.

Arvi sudah berusaha untuk tak cemburu, tapi ia gagal. Elio selalu berhasil membuat posisinya terjatuh ke dasar samudera, sebagai kekasih San ia tak memiliki hak dan harga diri.

"Aku selalu percaya, jika kau mencintaiku San. Aku sangat percaya."








SECONDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang