15

17.9K 1.3K 186
                                    

Satu bulan sudah berlalu, bahkan kini sudah jalan minggu ke dua lagi dari bulan selanjutnya Arvi tinggal di kediaman Maven. Sebenarnya ia sedikit penasaran kenapa wajah yang terpajang apik di ruang keluarga, bahkan nyaris dihampir ruangan ada tak pernah sekalipun terlihat batang hidungnya. Arvi terkadang ingin bertanya, kemana sang kepala keluarga?

Arvi menggelengkan kepalanya, tak seharusnya ia berpikir yang tidak-tidak.

Di rumah sebesar ini, ia hanya di temani Sona dan beberapa pelayan lain, Jane memiliki kesibukan sendiri walau begitu wanita itu selalu menyempatkan waktu untuknya, sedangkan San pria itu benar-benar tak menemuinya selama ia tinggal di sini, pria itu bahkan hanya mengirimi pesan sesekali dan Arvi mengabaikannya.

"Tuan muda, Nyonya menunggu Anda di halaman belakang." Sona datang dengan raut cerianya.

Arvi mengangguk, ia segera beranjak. Tak biasanya Jane ingin bertemu di siang hari seperti ini.

"Ada apa mom?" Arvi menghampiri Jane yang tengah duduk sambil memetik kelopak bunga, membuat kepingan bunga indah itu berceceran di rumput.

"Tidak, hanya saja dari kemarin kita belum berbincang," sahut Jane, matanya masih menatap bunga mawar merah datar.

"Kenapa kau menghancurkan bunga indah ini mom?" tanya Arvi, ia mengambil satu kelopak yang sudah terjatuh.

"Terkadang sesuatu yang indah itu dapat membuat luka, mawar indah memiliki duri yang tajam. Bukankah adil, merusak kelopaknya setelah duri itu menusuk telapak tanganku?" tutur Jane, ia meniup kelopak bunga terakhir dengan senyuman yang membuat matanya menyipit. Warna lipstik Jane begitu sama dengan warna mawar, merah. Membuat visual akan seorang Jane begitu menonjol, luar biasa cantik nan elegan dipenglihatan Arvi.

"Seharusnya sejak awal kau tak menyentuhnya agar kau tak tertusuk duri, mungkin kalian tak akan saling menyakiti." Arvi berucap sendu, perbincangan kali ini mengingatkannya pada San. Ia merindukan pria itu, tapi tak sanggup untuk bertemu, bukan karena rasa takut melainkan sisa kecewa yang masih ada.

Jane terkekeh, ia mengambil kain di nampan yang dibawakan Sona. Kain yang semula berwarna putih kini ternodai dengan darah dari tangan si empu.

"Kau tak merindukan San?" ucap Jane tiba-tiba.

Arvi tersenyum tipis. "Aku merindukannya, terdengar bodoh tapi aku benar-benar merindukannya."

"Ya, seperti itulah cinta menjadikan manusia bodoh. Orang lebih banyak memilih pasangannya yang membuat dirinya menangis dibanding orang lain yang memberikan bahu untuk menampung air matanya."

Keduanya tertawa, merasa konyol dengan perbincangan yang sudah seperti kumpulan manusia bijak.

Semua mengalir, Arvi tak pernah canggung lagi pada Jane. Jane orang yang hebat dalam memainkan ekspresi dan nada bicara, dalam satu waktu wanita itu bisa berubah kapan saja. Arvi tak heran lagi, saat tahu Jane mantan model pantas saja wajahnya tak terlihat begitu asing.

Berbeda dengan kedua orang ini, di lain tempat pria yang sudah satu bulan lebih berpisah dengan sang kekasih tengah duduk, jarinya saling meremat, kakinya bergetar kentara menahan ketakutan.

Peluh membasahi wajahnya, perut terasa dililit membuatnya mual saking gugup dan tegang, ya di saat gugup dan tegang San selalu seperti ini, sejak kecil.

"Bagaimana?" San langsung berdiri saat dokter keluar, ia begitu khawatir saat melihat keadaan Elio terkapar tak berdaya di rumah.

Tak bisa San bayangkan jika ia tak datang, mungkin saja hal buruk terjadi jika ia terlambat.

Helaan napas terdengar berat, dokter Bry melepas kaca matanya.

"Bisakah kita bicara di ruangan saya," ucap sang dokter, San mengangguk mengekori Bry.

Di sinilah San sekarang, dengan tangan saling tertaut menunggu penjelasan dokter dihapadannya.

"Ini surat hasil pemeriksaan, sebenarnya saya belum yakin mungkin setelah ini Anda bisa memutuskannya sendiri." Bry menyodorkan amplop putih berisi surat.

Tanpa banyak tanya San langsung membukanya, membaca setiap deratan kalimat yang membuat jantungnya berdebar.

'Positif'

Satu kata yang membuat telinga San berdengung bak dihantam batu besar.

"Tuan Elio positif mengandung, perkiraan janinnya berusia sepuluh minggu. Saya sarankan Anda konsultasi dengan dokter kandungan," tutur Bry.

"Tolong jangan biarkan submisif Anda stress dan melakukan pekerjaan berat, kandunganya lemah." Bry kembali berucap.

San hanya diam mendengar semua perkataan dokter, tak tahu harus bereaksi apa. Ia menatap kosong kertas ditangannya, ia pikir Elio memiliki penyakit serius atau mematikan sampai harus bicara di ruangan si dokter.

"Tuan Elio meminta untuk tak memberi tahu Anda, tapi saya pikir bukankah hal ini penting diketahui oleh dominannya? Karena itulah saya membawa Anda ke sini, agar Tuan Elio tak tahu."

San mendengkus, ia pikir Elio belum tahu ternyata submisif itu menyembunyikan hal sebesar ini darinya.

Melupakan apa itu sopan santun, San tanpa permisi beranjak dengan perasaan kacau. Ia membuka ruang rawat Elio kasar.

Di sana, Elio tengah terbaring dengan wajah pucat pasi dan selang infus yang tertancap apik dipunggung tangannya. San menghampiri Elio, tatapan keduanya bersi robok seolah tahu apa yang tengah dipikirkan.

"Untuk apa kau menyembunyikan ini El?" ucap San dingin.

Elio membuang pandangannya, lelehan air mata meluncur tanpa permisi terasa panas membasahi pipi.

"Aku tak mau menghancurkan segalanya," sahut Elio serak.

"Lalu kau ingin menghancurkan dirimu?" San terkekeh sinis. "Kau keterlaluan! Sudah kukatakan berhenti untuk menyakiti dirimu sendiri!" Nada bicara San meninggi.

"Lalu aku harus bagaimana?! Aku tak tahu, semua sudah kacau!" balas Elio dibarengi isakan.

"A-aku tak mau! Aku juga tak mau!" sambungnya.

San menggeleng, ia langsung merengkuh si submisif membawanya ke dalam pelukan.

"Maaf San ... maaf," ucap Elio, yang tak ditanggapi apapun.

"Maafkan aku ... aku ... aku sudah sejauh ini ... "

"Tenanglah, semua akan baik-baik saja." San mengelus surai Elio, berusaha menenangkan.

______

Sesuai janji











SECONDWhere stories live. Discover now