7

15.1K 1.2K 54
                                    

Arvi bukanlah orang yang dapat sabar terus-menerus, masih jelas perlakuan San sore kemarin padanya. Hari ini sepulang bekerja ia mengajak Elio bertemu.

Dan di sinilah keduanya, duduk berhadapan dengan secangkir kopi.

"Aku tak tahu, lain kali aku tak akan meminta bantuan San," ucap Elio dengan raut penuh penyesalan. Ia menunduk, malu.

Arvi menghela napas. "Sebenarnya aku tak masalah, kau bisa meminta bantuan San kapanpun kau mau, hanya saja tolong beri tahu aku, hal apa dan kenapa, jika aku tahu mungkin aku juga bisa membantu," ucapnya.

Arvi menatap Elio sendu, ia lelah. Lelah akan masalah apa yang selalu menjadi kerikil dalam hubungannya dan San, masalah yang sama dan tak pernah ada solusinya.

"Kau tahu? Aku submisif yang begitu sensitif dalam hal apapun, aku menggantungkan hidupku pada San. Aku terluka akan pikiranku sendiri, mungkin San akan muak jika aku terus-menerus bertingkah seperti ini. Cemburu padamu, melarangnya pergi, lalu selalu mengiriminya pesan, semua itu aku lakukan karena aku takut kehilangannya." Arvi berucap serak perkataannya begitu lirih di akhir, seolah hal itu bahkan begitu menakutkan untuk di ucapkan.

Arvi tak ingin berdebat dengan Elio, ia hanya ingin berbagi pikirannya agar terbuka dan Elio tahu seberapa takutnya ia, Ia meminta pengertian Elio sebagai sesama submisif.

"Maaf atas semua perbuatanku dan maaf juga akan tingkah San, aku akan belajar hidup tanpa melibatkan San. Mungkin terdengar egois jika aku mengatakan, jika sejak dulu aku dan San sudah saling mengulurkan tangan, kami berdua sahabat, aku belum terbiasa apa-apa sendiri, aku terlalu terbiasa melibatkan San. Maaf Vi, aku akan belajar berhenti," sahut Elio.

"Aku tahu kau dan San sepasang sahabat, tapi saat ini sahabatmu memiliki kekasih jadi kumohon mengertilah," ucap Arvi.

Elio dan San sudah saling menyayangi sejak kecil, keduanya sudah saling mengerti. Elio selalu menginginkan San memiliki pasangan yang sangat menyayanginya tapi ia tak tahu penghalang hubungan San adalah dirinya, Elio mengaku salah. Ia akan belajar berhenti, semua tak bisa semudah membalikkan telapak tangan. Ibarat sudah terbiasa sarapan dan satu hari tidak, maka akan sakit begitupun Elio. Ia dan San tak terpisahkan, itu pikirannya sejak dulu. Melihat Arvi yang meminta padanya untuk menjauh dari San secara halus, itu sedikit membuatnya terluka tapi bukankah jika ia di posisi Arvi juga akan melakukan hal sama?

"Walau begitu kau tetap hal utama bagi San, kau tetap sahabatnya. Kau bahkan mungkin jauh berharga dariku, El ... jika boleh jujur aku iri, iri padamu. Lebih baik menjadi sahabatnya saja dibanding kekasihnya, karena kupikir kau sangat beruntung," sambung Arvi, perkataan yang selalu ingin ia katakan akhirnya dapat keluar dari mulutnya.

"Vi ... "

"Tidak ... tidak, aku memang salah kau tak perlu merasa bersalah. Aku hanya pendatang dan tak tahu apapun tentang San, tiga tahunku tak ada artinya dengan hubungan kalian yang sudah terjalin bertahun-tahun," sela Arvi, air mata sudah menumpuk dipelupuk matanya.

"Sudahlah, maaf aku berlebihan, terima kasih jika kau mengerti, aku pergi."

Setelah mengatakan itu Arvi melangkah pergi tak ingin amarahnya meluap dan mengacaukan segalanya.

Sedangkan Elio masih termangu akan pikirannya, ia tenggelam sendirian oleh perkataan Arvi.

Terkadang sulit merubah hal yang menurut kita benar, Elio merasa tak enak pada Arvi tapi ia juga merasa kehilangan sosok San Jika pria itu hanya fokus pada Arvi, apa Elio berlebihan juga? Ia tak tahu jika selama ini ia melukai submisif lain.

Tanpa sadar kedua tangannya mengepal, rasa bersalah naik kepermukaan, menggerogoti hati membuat lubang penyesalan semakin besar. Elio hanya memikirkan perasaannya sendiri sampai melupakan kekasih sahabatnya.

Ia dan San hanyalah sebatas sahabat tapi nyatanya kedekatan keduanya menjadi duri, kehadiran Elio menjadi timah panas untuk hubungan orang lain. Air mata mengalir begitu saja, lolos seiring hati yang semakin sesak memikirkan perbuatannya sendiri.

"Aku memang selalu menjadi luka bagi orang lain," gumam Elio, ia menunduk membiarkan air matanya semakin berjatuhan.

Terkadang orang lain tak tahu juga seberapa berat hidup orang yang harus terlihat baik-baik saja, tak adil rasanya saat seluruh dunia menekan atas pengertiannmu namun mereka enggan mengerti akan dirimu. Terdengar bajingan tapi itulah hidup, Elio terima akan hal itu.

_____

Jadi siapa yang harus ngerti?

SECONDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang