Episode 10 - Apakah Kamu Baik-baik Saja?

2 0 0
                                    

Bagian 10— Kaviya duduk memandangi danau, meminum susu pemberian Neil, lalu memandangi matahari yang sudah mulai terbenam. Terdiam mematung hingga matahari terbenam, lalu pulang menuju rumah.

———
"Aku pulang," kataku lesu.

Aku melihat barisan kaleng bir di atas meja makan. Aku membersihkannya, lalu membuangnya. Aku membuka pintu kamar ayahku, dan melihat dirinya terbaring berbicara tidak jelas menandakan sedang mabuk. Aku menutup pintu kamarnya secara perlahan-lahan.

"Hey Viya!" pekik Ayah.

"Ayah hari ini sudah tidak bekerja. Kamu senang bukan melihat Ayah pengangguran begini," sambungnya.

Aku hanya terdiam seribu bahasa. Rasanya sudah sangat lelah untuk mengucapkan satu dua kata.

"Tunggu, benarkan kamu sangat senang ayah tidak punya pekerjaan?" racau ayah Kaviya.

Tidak lama ayah mulai melemparkan barang di dekatnya menuju ke arahku. Aku hanya terdiam menerima lemparan darinya.

"Kenapa kamu hanya diam saja? Puas kamu? Pasti dirimu tertawa melihat ayah begini bukan?" bentak Ayah.

"Ah pasti kamu menyesal kan tinggal bersama Ayahmu ini? Ayah juga tidak senang tinggal bersamamu. Ayah tidak ingin punya anak sepertimu," sambungnya.

Ini melelahkan.
Aku ingin menahan tangisan yang akan keluar dari mataku, tetapi aku tidak bisa.
Aku tidak kuat lagi.
Ini menyesakkan.

Aku menangis sesenggukan, lalu berlari keluar rumah. Aku menuju ke arah telepon umum yang letaknya tak jauh dari rumahku, lalu menelpon Neil. Neil mengangkat telepon dariku.

"Halo. Halo. ini siapa ya?" tanya Neil.

Aku hanya terdiam, tidak berbicara satu kata pun. Aku tidak tahu apa yang harus aku bicarakan dengannya. Aku tidak tahu harus memulainya dari mana.

"Halo. Halo." ucap Neil.

Aku menutup teleponnya, lalu menangis sesenggukan. Aku berjalan tanpa arah, dan memutuskan untuk tidak pulang malam itu. Aku tertidur di halte bus yang letaknya agak jauh dari rumahku.

———
Keesokan paginya, Neil terbangun. Dia bersiap-siap menuju sekolahnya. Neil menuju halte bus, dan melihat keramaian di halte bus itu. Orang-orang berkumpul melihat ke arah halte bus. Neil tidak memperdulikannya. Sesaat sebelum menaiki bus, Neil melihat orang-orang itu melihat Kaviya yang wajahnya dipenuhi luka. Neil memutuskan untuk tidak menaiki bus, dan menghampiri Kaviya. Neil membangunkan nya.

"Kaviya, bangun," ucap Neil.

"Kaviya,"

"Kaviya, bangun. Ayo kita berpindah tempat," sambung Neil.

Kaviya membuka matanya, lalu melihat dirinya sudah menjadi perhatian orang-orang sekitar. Neil langsung mengeluarkan jaket yang ada di dalam tasnya, lalu menutupi wajah Kaviya. Mereka pergi meninggalkan halte tersebut.

"Apa kamu sakit?" tanya Neil cemas.

"Mari kita ke rumah sakit." sambungnya.

Kaviya menatap mata Neil. Berusaha menahan tangannya yang bergetar. Menggelengkan kepala.

Neil menatap wajah Kaviya yang tampak begitu muram seperti kehilangan semangat di pagi hari yang cerah. Kaviya hanya terdiam memberi isyarat seolah-olah dia tidak ingin ditanya apapun. Neil yang paham akan itu, hanya terdiam tidak bertanya apa pun. Neil berlabuh di apotek terdekat, membelikan salep untuk Kaviya, dan memberikannya.

"Gunakan salep ini agar lukamu tidak infeksi." ujar Neil.

Mereka kembali berjalan mengelilingi lingkungan sekitar, dan sudah berjalan selama tiga puluh menit tanpa tujuan. Kaviya yang berjalan di belakang Neil, memandangi Neil.

"Tunggu, kamu tidak bertanya apa yang terjadi padaku?" tanya Kaviya.

Neil yang mendengar perkataan itu langsung berhenti sejenak, lalu membalikkan badannya ke arah Kaviya.

"Tidak, aku tidak terlalu penasaran. Aku tahu yang kau butuhkan hanyalah seseorang yang menemani dirimu. Aku tidak akan bertanya lebih lanjut." ucap Neil.

Kaviya mulai mengeluarkan air matanya.

Kaviya menangis. Wajahnya lesu.

Neil mendekati Kaviya secara perlahan-lahan.

"Bolehkah aku memelukmu?" tanya Neil.

Kaviya hanya terdiam menangis, mendengus. Neil mulai memeluknya, lalu menepuk pundaknya.

"Tidak apa-apa. Itu bukan salahmu. Tidak apa-apa. Itu bukan apa-apa. Menangislah sepuas mungkin hingga dirimu merasa lega akan hal itu," ucap Neil.

Kaviya menangis sesenggukan.

"Terima kasih, kau sepertinya orang baik Neil." ucap Kaviya.

Mereka berdiam selama beberapa menit hingga tangisan Kaviya mulai mereda.

Neil mengajak Kaviya untuk pergi ke taman dekat danau. Kaviya menganggukan kepalanya. Mereka pergi menuju taman itu.

Mereka berjalan mengelilingi taman, lalu memutuskan berbaring di atas rerumputan yang ada pada taman. Kaviya memejamkan matanya, membuka matanya, menatap langit, lalu kembali memejamkan matanya.

Neil duduk memandangi Kaviya, lalu dia mengeluarkan sebuah sketchbook dan drawing pen. Dia menggambar wajah Kaviya secara perlahan-lahan.

"Kaviya,"

"Ini buatmu," ucap Neil malu.

"Cantik," kata Kaviya.

Neil tersenyum memandang Kaviya.

Tiba-tiba muncul kilasan yang menunjukkan bahwa seseorang yang tersenyum kepadanya adalah Kaviya. Neil merasakan sakit kepala yang luar biasa, namun dia menahannya.

"Apakah kamu tidak apa-apa?" tanya Kaviya.

"Iya, aku baik-baik saja." jawab Neil.

Neil mengajak Kaviya untuk mengelilingi kota.
Kaviya menyetujuinya, lalu mereka bergegas menuju halte bus. Mereka menunggu, lalu menaiki bus.

Mereka duduk berdekatan, dan terdiam beberapa saat. Kaviya menengok ke arah jendela bus, melihat pemandangan. Wajahnya terlihat begitu muram. Dia terus melihat pemandangan, tanpa menoleh ke arah Neil.

The Time We LovedWhere stories live. Discover now