Chapter 15

56 7 0
                                    

Satu tangan mungilnya berada dalam genggaman hangat. Jaket pemuda itu tak cukup mampu memeluk tubuhnya dari derasnya hujan yang sepertinya masih tidak akan berhenti hingga beberapa waktu kedepan. Padahal giginya telah bergeletuk nyaring. Tanda bahwa tubuh mungilnya semakin menggigil kedinginan.

"Kakak?"

Jovanka panggil pemuda disampingnya yang kondisinya juga tidak lebih baik. Jelas menerobos hujan di malam berangin kencang bukanlah hal yang benar.

Gadis itu terlalu kecil untuk mengingat jalan pulang ke rumahnya dari kawasan asing yang baru di datanginya. Sedang pemuda yang membawanya pergi juga terlalu asing di negara ini. Dan ponsel yang seharusnya bisa membantu kini sudah raib di curi.

"Bisa bertahan sebentar lagi? Kakak dengar ada bunyi kendaraan. Itu berarti tidak lama lagi kita akan menemukan jalan raya. Setelah itu kita bisa minta pertolongan pada mobil yang lewat."

Ide yang brilian, tapi Jovanka kecil sudah benar benar lelah memaksakan kakinya berlari.

"Capek." Keluh Jovanka dengan mata berkaca-kaca. Hujan deras menyamarkannya, tapi pemuda itu tahu dengan pasti bahwa sebentar lagi Jovanka akan menangis mendengar dari suara sengaunya.

"Maafin kakak ya? Coba aja kakak nggak bawa kamu terlalu jauh dari taman tadi."

"Enggak. Itu bukan salah kakak, yang salah itu penculiknya udah bawa kita kesini."

"Kakak akan suruh Papa menjebloskan mereka nanti ke kantor polisi. Biar tau rasa, tapi untuk itu kita harus selamat dulu. Kita harus lari sejauh mungkin dari sini buat minta bantuan."

Jovanka mengangguk, meski setelahnya ia harus pasrah saat tangannya kembali ditarik agar mengikuti pemuda itu untuk berlari. Guna mencari jalan keluar dari gedung gedung usang tak terpakai yang sepertinya telah lama ditinggalkan penduduk setempat.

Wilayah ini mungkin dulunya adalah perkampungan penduduk. Dan menilik dari banyak kerusakan dan tanah landai yang permukaannya sudah banyak mengalami pergeseran, pasti bencana alam besar telah menimpa warganya hingga membuat mereka memutuskan untuk tidak lagi menetap.

Tanah menjadi licin untuk dipijak karena hujan tak kunjung berhenti. Penerangan sangat minim karena malam sudah mengambil alih tugas matahari. Gedung gedung tua yang catnya sudah mengelupas dan kotor menambah aura seram di tempat itu. Tak ada suara apapun yang dapat ditangkap pendengaran, pun deru mobil yang sesaat lalu pemuda itu katakan. Semuanya hanyalah omong kosong agar Jovanka tidak putus asa.

Melewati satu rumah ke rumah lainnya terus mereka lakukan. Pemuda itu menjaga Jovanka cukup baik, selalu tak lupa memastikan Jovanka tak terluka.

"Sebelah Timur, ada jejak kaki yang mengarah ke Timur!"

Teriakan itu membuat pacuan jantung keduanya terasa seakan mau lepas. Tak ada jalan untuk menghindar, mendengar langkah demi langkah kaki bersahutan mendekat.

Jovanka merapatkan diri pada  Pemuda yang dipanggilnya kakak itu. Berlindung di belakang punggungnya dengan mata terpejam, juga cengkeraman di pinggang.

"Vanka mau pulang," tangisnya tak membantu sama sekali. Dan saat dua orang penculik yang telah membawa mereka kemari menemukan mereka. Jovanka hanya berteriak histeris melihat pemuda itu dijauhkan dari jangkauannya.

"Yang laki-laki buang dipinggir jalan, yang penting nggak mati. Kita cuma butuh yang perempuan buat minta tebusan. Bokapnya wara wiri di berita karena lagu ciptaannya, pasti nggak akan sulit kita mintai uang."

"Enggak! Nggak mau. Lepas!"

Yang Jovanka kira penjahat itu dua orang, ternyata datang lagi tiga orang lainnya yang kini memegangi 'kakak nya'. Yang pemuda itu lawan meski tubuh belianya belum cukup mampu untuk menandingi tubuh tubuh kekar yang pasti terbiasa dengan kekerasan itu.

Belenggu Where stories live. Discover now