Chapter 16

83 6 1
                                    

Langit abu-abu diluar sana menjatuhkan jutaan tetes air. Menciptakan genangan disepanjang jalan yang dilalui kendaraan beroda empat yang dikendarai oleh Nathan, dan Jovanka di dalamnya. Membiarkan waktu berlalu begitu cepat, berikut dengan segala hal yang terjadi di sepanjang hari ini.

Penolakan Yoga kini memiliki kejelasan yang dapat dicerna  secara logika oleh Jovanka.

Jerome adalah kembarannya meski mereka tidak memiliki kedekatan sedari kecil. Sementara Nathan adalah sahabat Yoga, dimana tentu Nathan lebih dekat dengannya ketimbang keluarganya sendiri. Untuk itu Yoga bersikap adil, dengan bersikap bungkam tak mengomentari.

Dan jika semua yang diungkap oleh Damar adalah sebuah kebenaran. Bahwa Nathan menunggunya, menerimanya sebagai seorang wanita secara utuh. Tentu Jovanka akan menjadi gadis paling bahagia disukai oleh pria sehebat Nathan. Tapi kembali lagi pada kata 'seandainya'. Yah seandainya saja Jovanka mengetahuinya lebih awal, mungkin ia akan menjaga perasaannya untuk pria itu. Bukan mengetahuinya sekarang, dimana ia sudah mulai memiliki rasa pada Jerome atas keseriusannya akan hubungan mereka.

Sepanjang hari ini Jovanka banyak melamun. Niat Nathan yang ingin melamarnya sesuai perjanjian menjadi beban tersendiri untuk Jovanka. Apalagi saat Nathan tiba tiba saja ikut masuk ke ruangan Yoga dan sedikit mendengar ucapan Damar.

Nathan sempat menegur para sahabatnya, sebelum mengajak Jovanka bicara berdua. Menjelaskan bahwa perjanjian itu benar, tapi membantah bahwa Nathan mengharapkannya. Nathan bahkan juga pelan pelan memberinya pengertian, agar Jovanka tidak perlu memikirkan masalah ini yang tentu saja sangat sulit bagi Jovanka.

"Vanka?"

Panggilan Nathan disebelahnya menyentak Jovanka dalam lamunannya. Ia membenarkan duduknya untuk menoleh sebelum menjawab. "Iya, Bos?"

"Kita sudah sampai."

Jovanka mendorong kacamatanya naik, menengok kearah luar. Dan seperti yang diucapkan Nathan, mobil kini sudah memasuki halaman apartemennya.

"Vanka, pokoknya aku nggak mau yah karena ucapan Damar bikin kedekatan kita sekian tahun merenggang. Jangan karena masalah ini kamu jadi canggung. Paham?"

Jovanka mengangguk, ia akan mencobanya jika memang itu yang diinginkan Nathan.

"Bos nggak sakit hati kan? Nggak marah? Nggak kecewa?" tanya Jovanka takut takut. Dan hadiah yang ia dapatkan dari pertanyaannya adalah toyoran di kepala. Jelas Nathan melakukan itu, tak peduli meski Jovanka meringis karena ulahnya.

"Sok kecantikan. Ya justru aku harus bersyukur, bersyukur karena terbebas dari kutukan bersama perempuan yang bodoh dan cerewet kayak kamu. Lagian orang tampan sepertiku banyak perempuan diluar sana yang mengajukan diri menjadi calon istri. Nggak perlu lah sok drama sedih sedih terluka."

Jovanka menganga. Para bosnya rata-rata memang memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Jovanka jadi menyesal sudah bertanya.

"Nggak nyangka, baru kali ini loh saya dengar orang memuji dirinya sendiri."

"Itu kenyataannya."

"Terus kenapa Bos menjomblo? Atau sebenarnya Bos nggak suka perempuan?"

Kali ini Nathan langsung meraup wajah Jovanka kesal.

"Bos ihh."

"Aku masih normal." Nathan mengatakannya dengan intonasi tinggi dan mata melotot. "Dan tarik ucapan kamu barusan yang nuduh aku jomblo, itu fitnah! Berhubungan dengan seseorang itu bukan berarti harus terikat dengan kata 'pacaran'. Cih, emang anak TK."

"Tapi saya nggak pernah liat Bos bawa pasangan. Nggak ada tuh, Bos gandeng perempuan terus dikenalin ke saya."

"Memangnya kamu penting?!" Jovanka langsung memegang dadanya. Menunjukkan ekspresi terluka yang dibuat buat. "Lagian aku memang tidak menggandeng wanita untuk diperkenalkan pada siapapun karena itu rahasia. Aku membawanya ke tempat lain." Nada bicara Nathan terdengar sewot, bahkan wajahnya terlihat keruh saat membantu Jovanka melepas sabuk pengamannya.

Belenggu ✔️Where stories live. Discover now