Ketika mereka kembali ke area syuting, Dewa memarkirkan mobil ke tempat semula dengan mulus. Rina membuka pintu, berdiri sebentar, lalu menatap jam tangannya. Ia tampak puas, lalu menepuk lengan Dewa sebelum berkata singkat bahwa Dewa bisa mulai kerja esok pagi.
Senyum kecil langsung terbit di wajah Dewa, ia menahan diri agar tidak terlalu kelihatan. Ia mengangguk sopan, mengucapkan terima kasih, dan menyalami Rina. Sementara Brian yang memperhatikan berdiri di dekat gerbang yang terbuka lebar, hanya mengacungkan jempol dengan ekspresi puas.
Dewa pulang dengan hati ringan. Jalanan macet tidak terasa mengganggu, bahkan suara motornya yang batuk-batuk di perempatan pun terdengar seperti lagu kemenangan kecil. Bahkan sesampainya di kontrakan, ia masih sempat mengelap motornya sambil menatap langit. Dalam hati, ia berpikir mungkin kali ini, keberuntungan benar-benar menemuinya—meski hanya untuk seminggu lamanya.
Dan kini, di pagi pertamanya bekerja, Dewa berdiri di depan mobil yang sudah berkilau sempurna. Ia menatap pantulan wajahnya di kap mobil, merapikan rambutnya dengan telapak tangan, lalu menarik napas panjang. Suasanya rumah megah ini masih sunyi, belum terdengar tanda-tanda kehidupan. Hanya terdengar burung tetangga yang berkicau dan sesekali angin yang menelusup lembut ke halaman.
Rina sempat berpesan semalam bahwa mobil sudah harus jalan pukul 5.30. Dewa sudah memanaskan mesin selama 10 menit dan ia memilih untuk mematikannya. Ia lalu duduk di tangga depan rumah, menunggu. Kini sudah lewat 5 menit dari jam yang Rina minta. Kemudian berlalu 10 menit. Ia menghela napas kecil, mencoba tidak resah walau rasanya sangat ingin mengetuk pintu di depannya.
Jam 5.45, matahari sudah naik sedikit lebih tinggi. Saat itu juga, terdengar suara lembut dari dalam rumah—pintu besar di depan bergerak perlahan, engselnya berderit halus. Dewa langsung berdiri dan bersiap di sisi mobil. Dari dalam terlihat seorang wanita paruh baya, mungkin asisten rumah tangga. Ia membuka pintu lebar-lebar dan menyingkir ke samping dengan sopan.
Lalu langkah ringan terdengar mengetuk lantai marmer rumah. Seorang perempuan muda muncul di ambang pintu—tinggi, berkulit cerah, rambut panjangnya dikepang satu tapi sebagian sudah berantakan alami. Ia tampak seperti baru selesai tergesa-gesa menyiapkan diri. Ponsel menempel di telinganya dan suaranya terdengar jelas.
“Iya, Mbak, ini aku lagi keluar rumah. Telat dikit kan nggak apa-apa,” kata si perempuan sambil menuruni 2 anak tangga dengan langkah cepat.
Dewa terpaku seperkian detik. Ia mengenali wajah itu meski belum pernah melihatnya secara langsung. Shea Ayu—sosok yang selalu menghiasi poster dan papan iklan di jalanan, layar televisi, bahkan reklame pada halte bus. Ia bukan seorang penggemar, tapi nama dan wajah itu sudah begitu sering muncul di hidupnya hingga rasanya nyaris akrab. Kini, perempuan itu berdiri hanya beberapa langkah darinya.
Cepat-cepat Dewa menunduk dan membuka pintu belakang dengan sopan. Sebelum melangkah masuk ke mobil, Shea menghentikan tubuhnya sesaat, menatap sekilas ke arah Dewa, seolah memastikan siapa sosok asing yang akan menyetir untuknya. Tatapannya singkat tapi cukup untuk membuat dada Dewa terasa aneh—semacam campuran gugup dan tak percaya diri.
“Iya, ini udah masuk mobil,” ujar Shea lagi pada telepon sambil masuk ke dalam mobil. Ujung kepangnya terayun lembut, aroma samar parfum segar langsung memenuhi udara di sekitar mobil. Ia duduk di kursi belakang, menaruh tas ke samping, dan masih sibuk berbicara pelan di ponsel.
Dewa menutup pintu dengan hati-hati, masuk ke kursi pengemudi, lalu menyalakan mesin kembali. Suara halus dari mobil itu kembali terdengar, berpadu dengan detak jantungnya yang belum juga stabil. Ia melirik sekilas lewat kaca spion—melihat pantulan wajah Shea di belakang yang fokus menatap ponselnya dengan ekspresi serius.
Mobil hitam itu meluncur perlahan meninggalkan halaman rumah Shea, menembus jalanan Ibu Kota yang mulai terisi. Udara jalan membawa embun yang mulai memudar di kaca, dan Dewa memegang setir dengan kedua tangan, menjaga laju mobil tetap stabil. Ia tak berani mengeluarkan sepatah kata pun. Setiap kali ia hendak membuka mulut, rasa canggung seperti menahan tenggorokannya. Ini hari pertama, tidak pantas banyak bicara, apalagi dengan orang sekaliber Shea Ayu. Ia terus fokus pada jalan, sesekali melirik lewat kaca spion untuk memastikan posisi aman—meski setiap pantulan wajah perempuan itu di cermin justru membuat pikirannya sedikit buyar.
Sepanjang perjalanan menuju Jakarta Utara, hanya suara mesin dan notifikasi ponsel Shea yang terdengar. Kadang perempuan itu bersandar, kadang mengganti posisi duduk, namun tidak sedikit pun menatap ke depan.
Begitu sampai di lokasi, Dewa segera memarkirkan mobil sesuai instruksi satpam setempat. Ia turun, membuka pintu belakang dengan sopan. Shea melangkah keluar tanpa terburu-buru, mengangkat wajah ke arah matahari pagi yang mulai menyengat. Ponselnya kembali berdering dan ia segera mengangkat panggilan tersebut—dari orang yang sama, manajernya.
“Ini udah sampe, Mbak. Lagi mau masuk ke dalem,” ucap Shea sembari melangkah meninggalkan mobilnya dan sopir freelance yang belum ia ketaui namanya itu.
...
Hari berjalan lumayan panjang. Dewa sudah beberapa kali berpindah posisi. Mengobrol sok akrab dengan satpam sampai menunggu di tempat teduh sambil memperhatikan kru yang sibuk di luar. Ia juga sempat tertidur sebentar di kursi depan gedung, tapi segera terbangun setiap kali mendengar suara langkah. Tadi ia sempat bertemu Rina, katanya syuting akan selesai di jam 5—jikalau tidak molor.
Dan akhirnya, matahari sudah cukup condong ke barat. Shea keluar dari gedung sendirian. Dewa yang melihat langsung buru-buru turun dari mobil yang sudah dipanaskan dan membuka pintu belakang.
Shea masuk dengan raut lelah, melepas masker, dan menengadahkan kepala sebentar sebelum berkata pelan, “Pulang ke rumah langsung, Mas.”
Mobil melaju menembus kemacetan sore. Langit berubah menjadi jingga pucat dan bayangan gedung memanjang di sepanjang jalan. Shea menatap keluar jendela, sesekali membuka ponselnya. Dewa tetap diam, hanya menatap lurus ke depan. Tapi kali ini dari pantulan kaca spion, ia menangkap mata Shea yang menatapnya beberapa kali—mungkin sekadar menilai atau sekadar iseng.
“Namanya siapa, Mas?” suara Shea tiba-tiba memecah keheningan.
Dewa sempat kaget seperkian detik sebelum menjawab, “Nama saya Dewa, Mbak.”
“Mas Dewa udah makan?” tanya Shea lagi dan kali ini nada suaranya lebih santai.
“Sudah, Mbak,” jawab Dewa singkat. Ia tadi sarapan nasi uduk yang dijual di samping lokasi syuting, dan makan siang ia mendapatkan nasi kotak dari kru.
“Tadi aku dapet nasi kotak dua. Buat Mas Dewa aja, nanti dimakan, ya,” kata Shea sambil menunjuk ke dua kotak makanan yang diikat rafia.
“Wah... makasih banyak, Mbak,” balas Dewa tidak menolak sambil tersenyum tulus.
Shea hanya membalas dengan senyum tipis kemudian menatap kembali ke luar jendela. Dari kaca spion, Dewa sempat melihat refleksi senyum samar itu. Ia tak tau mengapa, tapi tiba-tiba perjalanan pulang terasa terlalu cepat.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
pelan-pelan dulu yah, takut mogok kalo langsung tancep gas.