ㅤ Interlude: Rendez-vous en Janvier

9 7 0
                                    

𑁍ࠬܓDituliskan penuh sayang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

𑁍ࠬܓ
Dituliskan penuh sayang.

Ragam macam tanaman momore mengubah jalanan abu-abu Paris di bulan Januari jadi lebih bewarna. Awal tahun yang baru, garis permulaan baru. Orang-orang baru, suasana baru, pengalaman baru. Entah kenapa, Paris mulai membuatku melupakan rencana awalku; mengakhiri hidup.

Seperti dirasuki, pagi ini aku turun ke jalan, penuh semangat. Mataku mungkin berbinar sambil menenteng kamera lama yang rollnya baru diberikan oleh Sahi saat acara tukar hadiah. Tanpa tujuan, hanya untuk jalan-jalan. Kalau kata Vivienne, 'Monsiour Laut si Flaneur'. Kalau boleh jujur, aku lebih suka dicap begitu ketimbang sebagai 'Monsiour Laut si Melankolis.'

Mumpung tempat tinggalku tidak begitu jauh dari kawasan wisata, tak butuh lama bagiku untuk mulai mengabadikan momen. Aku suka memotret sesuatu yang menurut orang biasa-biasa saja. Aku menyukai saat dimana kulihat seorang manusia menjadi manusia. I like to perpetuate things that are not important. It makes me feel like I've captured something important—karena tidak banyak orang yang mempedulikan hal itu.

Banyak hal yang bisa kupotret dengan kamera lamaku ini. Misalnya pemuda di sana; biasa-biasa saja, tidak mencolok, dan sederhana.

"Bonjour! I'm a photographer, can I take your picture with this old camera?" Tentu, jangan lupakan izin. Aku bukan tipe yang mengambil potret seseorang sembarangan. Dibalasnya senyumku, ia mengangguk tanda setuju. Namanya Dante, ngomong-ngomong. Gaya bicaranya seperti bukan khas penduduk lokal. Mungkin wisatawan dari Italia?

"Anda adalah orang pertama yang saya potret tahun ini, Tuan," ucapku sambil mengarahkan kamera. Ia sedikit berpose walau kelihatan agak kaku. Tak apa, lagipula tidak semua orang pintar berpose (termasuk aku).

Sebuah kehormatan bisa mengawali tahun yang baru ini di kota seharum Paris. Walau kadang harus berkutat dengan banyaknya sampah dan tikus-tikus, itu tak masalah. Paris masih jadi kota favoritku—diikuti oleh Jogjakarta. Paris punya sihir, aku yakin itu.

"Bonjour! Bolehkah saya foto benda-benda itu?" Atensiku berhasil disita oleh dua-tiga lukisan yang ditenteng oleh seorang pemuda. Setelah dapat perizinan, aku memotret dengan antusias. "May I know your name, Monsieur?" Ia letakkan lukisan itu di tanah, tangannya terulur untuk membalas jabat tanganku. Pemuda yang manis.

"Daniel, et tu?¹" Aku tersenyum. "Laut, Biru Laut."

"Boah², Monsieur Laut, kamu ingin membuka pameran lukisan atau apa!?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Boah², Monsieur Laut, kamu ingin membuka pameran lukisan atau apa!?"

"Memangnya kenapa?"

Vivienne menghela napasnya, tak ada niatan ingin melanjutkan percakapan karena ia terlalu lelah untuk memahami tingkahku. Aku tertatih menggendong banyak lukisan yang baru saja kubeli dari Daniel. Mungkin totalnya adalah seharga biaya makanku selama seminggu.

"Dasar orang kaya, sukanya menghamburkan uang."

Selengkapnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Selengkapnya

¹ : Dan kamu?
² : Astaga!

( PROLOG ) i never was ready, so i watch you go ✔Where stories live. Discover now