ㅤ Intro: Plus Proche

10 7 0
                                    

𑁍ࠬܓDituliskan penuh sayang

اوووه! هذه الصورة لا تتبع إرشادات المحتوى الخاصة بنا. لمتابعة النشر، يرجى إزالتها أو تحميل صورة أخرى.

𑁍ࠬܓ
Dituliskan penuh sayang.

Menuruni tangga rumah keluarga Lavigne, aku sudah bisa mencium aroma kayu perapian dan anggur dari botol-botol yang dipajang di lemari. Suasanya berbeda dibandingkan dengan saat kami berada di atap tadi; di sini lebih hangat. (Semenjak diajak waktu itu, aku jadi ketagihan berkunjung ke atap rumah Vivienne).

Tuan Lavigne sedang duduk di sofa dekat perapian. Mataku menemukan sebuah buku bewarna putih tergeletak di lantai, ditemani kertas-kertas kecil dan sepertinya buku itu sudah dianotasi. '𝘈 𝘛𝘩𝘦𝘰𝘳𝘺 𝘰𝘧 𝘑𝘶𝘴𝘵𝘪𝘤𝘦', sebuah buku karya John Rawls.

"Papa!" Vivienne berlari menuju ayahnya, memeluk tubuh itu erat. "Haruskah kita ke 𝘑𝘢𝘳𝘥𝘪𝘯 𝘥𝘶 𝘓𝘶𝘹𝘦𝘮𝘣𝘰𝘶𝘳𝘨 malam ini?" Beliau berbalik untuk melihat wajah sang anak. "Ke tempat itu? Malam-malam begini?"

Detik kemudian, Nyonya Lavigne muncul dari balik pintu dapur sambil membawa panci berisi sup hangat. Kelihatannya mereka ingin makan malam.

"Vivi, mungkin kamu lupa. Ini adalah hari filosofi! Papamu ingin sekali ke sana."

Aku mengusap tengkukku, canggung. Rasanya seperti menonton drama keluarga yang hangat di musim dingin, tapi pemerannya tepat ada di depanmu. Aku dimana, aku siapa?

"Kenapa harus kesana?" Bibir Vivienne mengerucut, sepertinya ia tak ingin pergi kemana-mana lagi selain pergi ke kasur. Kemudian, Tuan Lavigne kembali bersuara setelahnya. Ia melempar pertanyaan terlebih dahulu, "Kamu ingat tentang Jean-Paul Sartre? Di situlah ia sering berjalan-jalan dan duduk bersama kekasih seumur hidupnya, Simone de Beauvoir."

"Anu-"

"Oh? Jadi ini rencananya? Papa dan Maman pergi berkencan dan aku cuma jadi penonton kemesraan kalian?" Vivienne bercekak pinggang.

Aduh, kapan aku bisa pulang.

"Kamu bisa ajak Laut, 'kan?"

Lho, lho, lho?

Mataku melotot, tangan yang awalnya hendak menepuk pundak Vivienne kini berhenti di udara, menatap Tuan Lavigne tak percaya. "Laut?" Vivienne melihatku; wajah jelek terkaget-kaget. "Kamu tidak ada urusan lain setelah ini?" Masih belum percaya, aku refleks menganggukkan kepala.

"Deal. Ya sudah, ayo makan! Kalau makin malam nanti udaranya akan semakin dingin. Kita harus cepat." Tangan halus Nyonya Lavigne menarikku ke kursi, berseberangan dengan kursi tempat Vivienne duduk. Ia meletakkan beberapa hidangan sekaligus untuk mengisi piringku, kemudian berkata, "Makan yang banyak." Nyonya itu tersenyum, senyuman hangat yang tak jauh berbeda dengan senyuman yang biasa kulihat terukir di wajah anaknya.

Semua hal di tempat ini seperti mendekapku. Tidak terlalu erat sampai membuat sesak, tapi cukup untuk menebarkan perasaan dimiliki dan pulang. Aman, nyaman.

Walah, kacau iki.

        Walah, kacau iki

اوووه! هذه الصورة لا تتبع إرشادات المحتوى الخاصة بنا. لمتابعة النشر، يرجى إزالتها أو تحميل صورة أخرى.
( PROLOG ) i never was ready, so i watch you go ✔حيث تعيش القصص. اكتشف الآن