ㅤ Intro: Le Coeur de L'artiste

12 9 0
                                    

⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Ia hanya bunga biasa. Mekar di musim
panas, namun saat hujan sedang turun.
Tak mencolok namun juga tak goyah
disapu angin. Tak terlalu peduli akan
dilirik apalagi berharap dipuji-puji. Hanya
bunga biasa diantara bunga biasa lainnya,
namun ia berhasil buat saya jatuh cinta.

Paris, 3 September 2022: 17.43: Sahi
memamerkan hasil sesi pemotretan
dadakannya bersama Vivienne

43: Sahimemamerkan hasil sesi pemotretandadakannya bersama Vivienne

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

𑁍ࠬܓDituliskan penuh sayang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

𑁍ࠬܓ
Dituliskan penuh sayang.

"𝘏𝘢𝘷𝘦 𝘺𝘰𝘶 𝘦𝘷𝘦𝘳 𝘩𝘢𝘥 𝘥𝘦𝘦𝘱 𝘧𝘦𝘦𝘭𝘪𝘯𝘨𝘴 𝘧𝘰𝘳 𝘴𝘰𝘮𝘦𝘰𝘯𝘦 𝘸𝘩𝘰 𝘥𝘰𝘦𝘴𝘯'𝘵 𝘦𝘷𝘦𝘯 𝘬𝘯𝘰𝘸 𝘺𝘰𝘶𝘳 𝘯𝘢𝘮𝘦 𝘢𝘯𝘥 𝘩𝘢𝘥 𝘵𝘰 𝘴𝘢𝘺 𝘨𝘰𝘰𝘥𝘣𝘺𝘦 𝘵𝘰 𝘵𝘩𝘦𝘮?"

Tuan itu terduduk di salah satu kursi yang berjejer, ia mengutak-atik kamera yang barusan kugunakan untuk memotret dirinya. Atas pertanyaan barusan, aku hanya menggeleng sebagai balasan. Ia adalah seorang fotografer, sama seperti aku dan Sahi. Namun, ketimbang memotret, hari ini ia lebih memilih untuk dipotret.

Kami duduk sambil menyesap kopi yang sudah hampir habis. Sebuah pertanyaan muncul dalam kepalaku. "Tuan mengenalnya, tapi dia tidak?" Ia menggeleng. "Awalnya, ia mengenal saya. Sesuatu terjadi dan dia kehilangan ingatannya, bahkan semua tentang saya." Aku diam, berusaha memahami situasinya.

"Di sini, saya menyimpan banyak hal tentang kami, yang paling banyak adalah potret tentangnya." Ia mengeluarkan sebuah kamera digital beserta beberapa foto yang sudah dicetak. Aku melihat dua insan, laki dan perempuan. Ah, aku paham!

"𝘌𝘴𝘵 𝘤𝘦 𝘲𝘶𝘦 𝘵𝘶 𝘭'𝘢𝘪𝘮𝘦𝘴?"¹

Ia menoleh, menatapku sambil tersenyum. "𝘔𝘰𝘳𝘦 𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘐 𝘭𝘰𝘷𝘦 𝘮𝘺𝘴𝘦𝘭𝘧." Ia mengulurkan selembar foto padaku; potret belahan jiwanya. Rambut pirang secerah mentari pagi, semburan rona merah alami pada pipinya, senyumannya yang menyejukkan, ia adalah representasi dari keindahan itu sendiri.

"Dia akan pergi?" tanyaku lagi. Tuan itu menjawab, "Ya, pergi jauh. Mungkin ke Swiss, memulai hidup baru bersama keluarganya."

"Kenapa tak menyusulnya?"

"Kamu mungkin punya banyak pertanyaan, Monsieur. Tapi, Tuhan pasti punya alasan kenapa menghapus sosok saya dalam ingatannya ... dalam hidupnya."

"Tapi anda mencin-"

"𝘚𝘰𝘮𝘦𝘵𝘪𝘮𝘦𝘴, Monsieur Laut, jatuh cinta memang bisa membuat dadamu sesak, menyiksa hingga ke dalam. Lagipula, setiap ada pertemuan pasti akan ada perpisahan, kan?" Lagi-lagi aku bungkam. Aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya jika ada di posisinya. Kopi dalam cupnya sudah kandas, pandangan Tuan ini lurus ke depan. Beberapa ekor burung merpati datang untuk melahap sisa remahan roti di dekatnya.

"Katanya, jika seorang seniman jatuh cinta, maka orang yang ia cintai akan abadi dalam karya-karyanya." Ia kemudian menepuk pundakku, wajahnya berubah sumringah sambil cengengesan.

"𝘏𝘢𝘷𝘦 𝘺𝘰𝘶 𝘦𝘷𝘦𝘳 𝘧𝘢𝘭𝘭𝘦𝘯 𝘪𝘯 𝘭𝘰𝘷𝘦?"

        "𝘏𝘢𝘷𝘦 𝘺𝘰𝘶 𝘦𝘷𝘦𝘳 𝘧𝘢𝘭𝘭𝘦𝘯 𝘪𝘯 𝘭𝘰𝘷𝘦?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Selengkapnya

¹ : Apa kau mencintainya?

( PROLOG ) i never was ready, so i watch you go ✔Where stories live. Discover now