ㅤ Intro: Dans une Boulangerie, a Paris

11 6 0
                                    

𑁍ࠬܓDituliskan penuh sayang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

𑁍ࠬܓ
Dituliskan penuh sayang.

Dedaunan menyelimuti tanah hingga bumi Paris terlihat seperti kain batik Cirebon. Merah dan coklat mendominasi, meriah, sambil ditiup oleh angin musim gugur. Untuk kesekian kalinya aku menghirup aroma manis dari roti-roti yang bisa ditemukan di tempat ini, di La Bakery.

Di salah satu meja dekat jendela, aku bersama Vivienne dan Sahi biasa menyaksikan orang-orang lalu-lalang, kadang juga melirik Madeleine di daerah kerjanya. Dengan sigap ia melayani para pelanggan, memberikan roti-roti terbaik yang mereka punya.

"Selain Madeleine, kita bertiga kelihatan seperti pengangguran." Sahi tiba-tiba menyeletuk. "Saya memang pengangguran, ngomong-ngomong," kataku.

"Tapi Tuan dapat penghasilan dari memotret," bantah Vivienne sambil mencelupkan krim ke dalam coklat panasnya. Ini salah satu minuman yang wajib dicoba kalau sudah tiba di Paris.

"Benar juga, ya. Mungkin sebut saja setengah menganggur," ucapku asal.

Madeleine baru selesai dengan tugasnya dan langsung mengambil tempat di sebelah Sahi. Ia memberikan sepiring penuh croissant untuk disantap. Katanya bonus karena sudah jadi pelanggan setia La Bakery.

"Roti di sini selalu enak, aku penasaran Madeleine pakai sihir apa." Kekehan kecil lolos karena candaan Vivienne. "Bukan sihir, ini namanya bakat!" bantah si pembuat roti. "Kalau tidak salah, ibunya yang mengajari Madeleine membuat roti seenak ini," tambah Sahi. Gadis itu mengangguk setuju. "Lagipula sekarang sudah zaman moderen- bisa belajar darimana saja. Di sosial media bertebaran cara-cara membuat roti yang enak."

"Belajar yang paling ampuh adalah belajar dari pengalaman pastinya."

"Ucap seseorang yang bahkan belum bisa belajar dari pengalaman," sindir Sahi, "bagaimana mau belajar? Berdamai dengan masa lalu saja belum bisa. Dasar pengangguran!" Ia tertawa terbahak-bahak.

Belum saja kujejalkan roti ini ke mulutnya.

"Bicara soal pengangguran, kamu belum cerita kenapa memilih untuk berhenti dari pekerjaan lamamu, Tuan Melankolis."

Aku menatap Madeleine, protes. "Kenapa rasanya hanya saya yang berbagi cerita? Bagaimana dengan kalian?" Aku menatap mereka bergantian. "Vivienne, kamu-keluargamu, semuanya kelihatan baik-baik saja. Lalu kenapa....?" Mendengar itu, Vivienne terkekeh.

"Kamu mungkin lupa, Tuan Melankolis. Apa pun yang terlihat, boleh jadi tidak seperti yang kita lihat."

Tak ada waktu yang paling tepat untuk belajar. Belajar bisa dilakukan kapan saja, dimana saja, kepada siapa, dan dari siapa saja. Aku bisa saja belajar dari dedaunan yang jatuh di jalanan. Aku bisa belajar dari keadaan, pengalaman, bahkan mungkin-aku harus mulai belajar dari kesalahan. Tidak masalah apakah aku telah gagal atau tidak, yang penting adalah apakah aku belajar darinya atau tidak.


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
( PROLOG ) i never was ready, so i watch you go ✔Where stories live. Discover now