24. Menapaki Rumput Liar (3)🗻

135 10 1
                                    

.
.
.
.
.

Pada saat kegelapan mulai menyelubungi dunia, Lan Ruan menyalakan lampu sorot mobil untuk memberi penerangan tambahan.

Wilayah perbatasan Caiyi sudah tertinggal jauh di belakang. Saat ini, SUV silver ini sedang membelah kerumunan kota yang hidup di bawah kelap-kelip lampu temaram. Beberapa kedai arak masih terbuka, dan aroma lembut Senyum Kaisar mengusir udara monoton di dalam mobil pada saat Lan Ruan membuka kaca lebih lebar; seperti sengaja melajukan SUV dengan kecepatan lambat.

Kepalanya sesekali menoleh ke kursi samping kemudi di mana nenek sedang terlelap. Melihat nenek sudah tertidur, aku bisa menebak bahwa saat ini tentu saja pukul sembilan malam.

"Kita akan segera sampai." Lan Ruan memberitahu.

Lewat kaca mobil, aku melihat penjaja permen kapas yang masih menjajakan dagangannya di tengah deretan pedagang lain. Aku dengan sopan meminta Lan Ruan untuk berhenti sebentar.

"Apa kau suka permen kapas?" Dia bertanya padaku.

Bocah sepuluh tahun yang sudah tentu ada di kediaman Lan Ruan tidak bisa diabaikan, "Aku hanya teringat Lan Huanran. Dia menyukai permen kapas."

"Ah, ya. Aku bahkan melupakannya. Kau ingin membawakan permen kapas untuknya?"

"Apa boleh?"

"Tentu saja." Lan Ruan menyodorkan beberapa lembar uang padaku, "Belilah lebih banyak jika kau juga menyukainya."

Aku memandang wajahnya sebentar. Dia terlihat sangat tulus. Raut wajah itu seakan-akan menunjukkan kesan bahwa dia tidak ingin aku menolak uang ini. Aku mengangguk, "Saya mungkin akan membeli tanghulu. Apa Tuan mau?"

"Kau bisa membelikanku juga."Setelah mendapat persetujuan Lan Ruan, aku membuka pintu mobil dan bergegas menuju penjaja permen kapas itu.

"Bisakah aku mendapatkan satu?" Pedagang permen kapas ini seorang laki-laki. Berusia kira-kira tiga puluh lima tahun. Sebelum kedatanganku, aku dapat melihat semangatnya yang meluap-luap, berteriak menjajakan permen kapas kepada setiap pejalan kaki yang melewati kios kecilnya.

Ketika aku mendekat dan memesan satu permen kapas, tangannya yang tidak pernah berhenti memintal benang gula sebelumnya seketika berhenti, dan mata hangatnya seperti baru saja dihujani setumpuk salju dan berubah beku.

Tanpa berkata apapun, dia menyerahkan bulatan besar panda merah jambu kepadaku. Dia bahkan tidak repot untuk memedulikan uang yang akan kuberikan, kembali memintal benang-benang manis dan berteriak menjajakan dagangannya, menganggapku hanya seperti udara.

Rasanya sangat menyedihkan. Aku mungkin terbiasa, dan tidak menyadari bahwa sebenarnya aku benar-benar tidak senang ketika dikucilkan. Ini tidak lebih baik dari sebuah tindak penganiayaan, bahkan sebenarnya jauh lebih buruk untuk dapat diterima begitu saja.

Tidak ingin berdiam lebih lama, aku bergeser ke samping. Ada pedagang tanghulu yang sedang menjajakan dagangannya. Kali ini pedagangnya adalah seorang nenek tua. Penampilannya sederhana dengan jubah putih Gusu yang menjadi kecoklatan karena kelihatannya berumur cukup tua seperti dirinya.

Beberapa kali wanita tua itu bersenandung bahwa tanghulu miliknya adalah yang terbaik, paling segar, dan paling manis. Mataku terpaku pada kemilau kaca dari cairan gula yang mengeras menyelimuti buah stroberi yang tampak segar. Tanghulu-tanghulu itu ditata rapi menjulang ke atas seperti lidi tegak, agaknya merupakan taktik untuk menarik pembeli.

Cahaya keemasan dari lampu yang menyoroti tanghulu memantulkan fitur wajahnya yang dipenuhi keriput, rasanya wanita tua ini memiliki keriput lebih banyak daripada keriput di wajah nenek, tetapi ia memiliki senyum yang sungguh-sungguh hangat.

Cloud RecessesWhere stories live. Discover now