7. Ikatan Takdir🗻

268 30 1
                                    

.
.
.
.
.

Tangan Wang Yibo terangkat ke udara membuat buliran air menetes dari sikunya. Jemari panjangnya berusaha menggapai kupu-kupu merah yang mengitarinya.

Aku sama sekali tidak bisa memalingkan wajahku dari sana. Pahatan tubuh itu benar-benar mengagumkan. Garis rahang yang tegas, leher yang jenjang, bahu yang lebar, dan dada yang bidang. Benar-benar penciptaan yang nyaris sempurna.

Saat aku sedang mengaguminya, Wang Yibo bersuara. "Apa menangkap kupu-kupu itu termasuk berburu?"

Aku terkesiap, buru-buru memungut kesadaranku yang jatuh ke kolam. "Ah, tidak." Ada ketenangan palsu dalam suaraku.

"Baguslah."

Kali ini dia menundukkan pandangannya untuk menatapku. Saat itu aku menyadari perbedaan tinggi badan kami lumayan kentara. Bagaimanapun, dia lima tahun lebih tua dariku.

"Apanya yang bagus?" Tanyaku sembari mengambil langkah mundur karena jarak kami yang terlalu dekat.

"Bukankah kau bilang berburu itu dilarang?" Benar apa katanya, aku memang berkata demikian. Asal dia tahu, aku tidak pernah menangkap kupu-kupu. Kupu-kupu itulah yang sukarela menempel di pundakku dan ikut pulang bersamaku dan nenek.

"Kupu-kupu itu sulit ditangkap, kecuali memang ada yang menghinggapimu dan bersedia dibawa pu--" Kalimatku tidak selesai, dan di saat waktu seperti melambat, seekor kupu-kupu merah yang paling terang hinggap di ujung jari telunjuknya sukarela. Dia memandangi kupu-kupu itu sekilas, lalu beralih memandangku lekat dengan senyumnya yang mengembang.

"Sepertinya dia mau." Katanya setengah berbisik. Butuh beberapa saat sampai akhirnya aku menggangguk ragu.

Hanya ada satu kupu-kupu tersisa di sisi Wang Yibo, lainnya sudah berterbangan ke langit.

Sengaja aku terbatuk untuk mengubah suasana. Akupun mencoba mengalihkan pikiranku dari semua hal ajaib yang baru saja terjadi.

Aku keluar dari kolam dengan lesu, pakaianku basah kuyup sementara aku tidak membawa baju ganti. Aku terbiasa telanjang ketika berendam di mata air dingin, jadi ketika baju yang kukenakan basah, tidak ada cara lain untukku selain mengeringkannya.

Mengesampingkan hal itu, aku lebih ingin laki-laki ini memperhitungkan waktunya dengan benar. Matahari sudah condong ke barat, dan hari semakin gelap. Jika tidak pulang sekarang, dia akan sampai ke Kota Gusu malam hari. Itu cukup berisiko karena medan perjalanan yang dilalui lumayan sulit.

Selagi dia masih ada di dalam kolam dan bermain dengan para kupu-kupu itu, aku berusaha memperingatinya. "Sudah hampir sore. Apa kau tidak pulang ke penginapanmu? Perjalananmu lumayan jauh. Bus terakhir sudah mau lewat."

Kata-kataku seperti menyadarkannya, "Ah, ya. Maaf, aku terlalu nyaman di sini." Kemudian dia juga menepi setelah sebelumnya memungut kaus hitam yang dilemparnya ke atas batu. Kausnya kering, tapi celana cargo-nya benar-benar basah.

Kami sibuk mengeringkan pakaian masing-masing secepat-cepatnya. Aku berdiri di tempat paling banyak cahaya agar pakaianku cepat kering, sementara Wang Yibo mengipasi celananya berkali-kali yang bagiku itu sia-sia. "Sampai malam pun itu tidak akan mengering jika caramu seperti itu. Berdiri di sini." Aku menyuruhnya berdiri di tempatku ketika aku pikir pakaianku sudah setengah kering. Diapun mengikuti perintahku.

Cloud RecessesWhere stories live. Discover now