2. Suatu Ketika di Lembah Kuburan🗻

478 47 3
                                    

.
.
.
.
.

Matahari baru saja tenggelam ketika akhirnya kami sampai di kaki gunung Relung Awan menuju rumah. Kami melewati jalan setapak kecil yang dikelilingi ladang tomat dan stroberi di kiri-kanan. Sebentar lagi kami akan sampai di ladang labu dan melon milik nenek, yang artinya kami akan sampai di rumah tidak lama lagi.

Kupu-kupu hijau dari Relung Awan masih saja terbang rendah di sekelilingku, sesekali juga bertengger di ujung rambutku dengan tenang. Benar-benar aneh sekaligus indah membuatku dan nenek tertawa melihatnya. Kami benar-benar merasa diberkati.

Aku masih membopong guqin Lan WangJi yang cukup besar di tanganku dengan penuh kebahagiaan. Rasanya aku benar-benar menyukai benda ini entah mengapa. Ada dorongan dalam diriku untuk membawanya dengan tanganku sendiri bahkan ketika kami mulai menuruni gunung.

"Nenek, aku ingin nenek memainkan guqin ini sebelum aku tidur." Pintaku pada nenek.

Dengan langkah pelan dan sedikit membungkuk di belakangku nenek menyahut, "Lagu apa yang ingin kau dengar, cucuku?"

Aku memandang ke langit sembari berpikir. "Apakah ada lagu khusus yang dimainkan HanGuang-Jun dengan guqin ini?"

Aku berhenti sejenak dan menoleh ke belakang untuk mendengar jawaban nenek. "Ya, ada."

Aku bertanya lagi, "Lagu apa itu, Nek? Bisakah nenek memainkannya untukku?"

Nenek meragu, "Nenek tidak yakin. Hanya sering mendengarnya saja ketika melewati kamar HanGuang-Jun."

Permainan guqin nenek yang sangat indah adalah alasan mengapa aku menyukai alat musik ini. Sudah pasti nenek adalah pemain guqin terhebat yang aku kenal. "Jangan khawatir, Nek. Aku pasti akan mimpi indah kalau mendengarnya dari nenek."

Aku tersenyum, kemudian nenek meraih puncak kepalaku dengan lembut, "Baiklah. Nenek akan memainkannya untukmu."

❄️❄️

Langkah terhenti, kami telah sampai. Rumah yang kami masuki hanyalah rumah kecil sederhana di kaki gunung yang terbuat dari papan kayu. Suara derit pintu terdengar ngilu menyambut kepulangan kami. Keadaan gelap gulita tergantikan dengan cahaya temaram yang berpendar hangat saat nenek mulai menyalakan satu demi satu lampu minyak yang menempel di dinding.

Segera kuletakkan guqin di gendonganku ke meja kecil di ruang tengah. Duduk bersila sembari memakan stroberi yang kupetik diam-diam di perjalanan pulang. Saat kulihat nenek berjalan mendekatiku, cepat-cepat kutelan stroberi di dalam mulutku dan mengusap kasar supaya tidak meninggalkan jejak.

Mau bagaimana lagi. Buahnya sangat merah dan segar. Aku jadi tidak tahan.

Mata nenek memincing curiga menatapku, "Bibirmu merah sekali, nak. Apa yang kau makan itu?"

Aku menggeleng kuat, mengelak, "Tidak, Nek. Bukan apa-apa." Tapi sepertinya ada sedikit sisa air buah berwarna merah yang mengalir dari sudut bibirku.

Akhirnya nenek menggeleng maklum, sepertinya ia tahu apa yang sudah terjadi. Nenek berkata lagi, "Dua giok dari Gusu Lan tidak pernah mencuri." Terbatuk kecil melirikku, membuatku menggaruk kepala dan tertawa canggung. Aku tertangkap basah. "Maaf ya, Nek. Stroberi itu sangat manis, jadi aku memakannya."

Nenek tidak marah, tetapi juga tidak memakluminya lagi, "Lain kali nenek akan menghukummu jika mencuri lagi."

Aku tegas, "Ya, Nek. Tidak akan!"

Cloud RecessesWhere stories live. Discover now