3. Pertanda dari Relung Awan🗻

398 40 1
                                    

.
.
.
.
.

Esok paginya aku terbangun di kamarku. Mungkin saja nenek membopongku dengan susah payah tadi malam. Aku segera turun dari dipanku dengan mata yang sembab, berkeliling rumah untuk mencari nenek yang akhirnya aku temukan di pelataran belakang, sedang menyapu.

"Nenek! Nenek!" Panggilku setengah berteriak dan berlari ke arah nenek. Aku tertidur dengan membawa kesedihan yang sangat berat, lalu pagi ini aku terbangun dengan rasa penasaran yang besar.

"Xiao Zhan, pelan-pelan!" Kaki kecilku menapaki lantai kayu dengan sangat cepat, menimbulkan suara gemuruh yang membuatnya terkejut. Mendengar suara nenek yang tidak biasa, aku pun ikut terkejut juga, lalu memelankan langkahku dan berjalan sedikit berjingkat. Tiba-tiba aku ingat salah satu peraturan sekte Lan; dilarang berjalan dengan tergesa-gesa.

"Nenek, apa nenek mau mengajariku bermain guqin? Aku ingin memainkan lagu yang semalam dengan tanganku sendiri!" Aku menarik ujung baju nenek bersemangat sampai-sampai tidak sadar kalau suaraku meninggi. Kaki kecilku baru saja menyentuh rumput yang basah oleh tetesan embun.

Ia menghela napas sejenak. Jantungnya hampir saja keluar dari rongga dadanya akibat ulahku. Melepas sapu lidi di tangannya begitu saja lalu berjongkok dan menyentuh jemari kecilku.

Nenek, "Apa kau menyukainya?"

Aku menjawab pasti, "Ya!"

Nenek bangkit dan meraih pipiku, menatapku dalam. "Kalau begitu kita sarapan dulu, lalu setelah itu nenek akan mengajarimu cara memainkannya. Nenek sudah membuatkan telur dadar kesukaanmu."

Nenek menuntunku masuk ke dalam rumah dan mendudukkanku di ruang makan. Ruangan ini tidak memiliki kursi, hanya sebuah meja kecil. Kami hanya duduk berleseh beralaskan tikar jerami yang cukup hangat. Ia mondar-mandir menyiapkan semua makanan yang sudah dibuatnya pagi-pagi sekali. Menumis labu dan menggoreng ikan, lalu membuat telur dadar kesukaanku.

Perutku yang sudah berkerut ini sangat ribut sejak tadi, tapi aku tetap menunggu dengan sabar. Aku sudah hapal beberapa peraturan sekte Lan --salah satunya adalah harus bisa mengendalikan hawa nafsu. Aku juga harus bisa mengendalikan hawa nafsuku. Tapi, aku tidak memiliki pita dahi seperti sekte Lan untuk simbol tekadku ini.

Dengan segenap keberanian, aku masuk ke kamar nenek untuk mencari kain panjang yang sekiranya bisa aku jadikan selayaknya pita dahi. Kemudian aku menemukan sehelai kain panjang kecil berwarna merah selebar tiga jari dari lemarinya. Aku mengikat kepalaku dengan kain itu dan berkata pada diriku sendiri bahwa aku harus bisa menahan hawa nafsuku apapun yang terjadi.

Aku baru kembali ke ruang makan saat semua sajian sudah siap. Nenek agak terkejut melihatku yang kembali dengan kepala yang diikat kain merah. "Apa itu di kepalamu?"

Lalu aku menjawab dengan mengetuk dahiku beberapa kali. "Ini adalah pita dahi sekte Lan yang baru. Sekarang warnanya merah. Dan ini ada padaku. Aku tidak akan pernah melepasnya!"

Ia tersenyum geli mendengar penuturanku. "Baiklah, baiklah. Ayo makan. Setelah ini mandi, lalu nenek akan mengajarimu bermain guqin."

Suasana di meja makan benar-benar senyap, bahkan tanpa ada suara peraduan alat makan yang terdengar.

Aku berusaha keras untuk tidak menimbulkan suara ketika makan. Setiap hari nenek selalu melatihku sedemikian agar aku tumbuh dengan memiliki etiket sekte Lan yang sempurna dan paripurna. Tapi karena hal itu, waktu makanku menjadi sangat lama.

Setelah ia menyelesaikan acara makan dengan menyantap satu piring nasi ditambah lauk ikan, maka nenek kemudian menungguku yang baru saja makan setengah nasi dan telur dadar. "Habiskan makananmu, jangan membuang makanan." Katanya berselang beberapa detik setelah menyurung mangkuk makanannya yang kosong ke sisi meja untuk kemudian dicuci.

Cloud RecessesWhere stories live. Discover now