21. Karma🗻

188 21 3
                                    


.
.
.
.
.

Setelah selesai menggarap ayam jantan panggang itu sampai tulang, kami pun bergegas kembali ke Relung Awan.

Beberapa saat yang lalu, kami berada di antara rerimbunan hutan bambu, kemudian menyeberangi sungai kecil dengan menjinjing celana. Seharusnya kami sampai di Relung Awan lebih cepat setelah melewati semak tanaman herbal, tapi sesuatu kemudian terjadi di sungai kecil itu.

Cahaya lilin di tanganku tiba-tiba padam ketika angin malam berembus cukup kencang. Saat itu, kakiku berada di atas bebatuan sungai yang licin. Sedetik aku tidak bisa melihat apapun, dan tahu-tahu sudah tergelincir. Urat kakiku terkilir, dan Wang Yibo segera menangkapku sehingga tidak sampai menyentuh air.

Rasanya menyakitkan!

Waktu untuk tiba di Relung Awan menjadi sedikit lebih panjang dari seharusnya. Aku berada di punggung Wang Yibo sambil meringis kesakitan. Satu lenganku melingkari lehernya, sementara lenganku yang lain terulur lurus memegang lilin sebagai penerangan. Dua tangan besar itu menyangga tubuhku di balik punggung.

Di balik punggungnya yang lebar, aku meratapi nasib dan mengerang nyeri. Rasa sakit ini tidak main-main. Wang Yibo mengambil lilin dari tanganku dan senantiasa menopang tubuh beratku dengan satu tangan. Dia mendekatkan cahaya lilin ke kakiku untuk mengecek, dan itu menjadi sedikit bengkak.

"Bersabarlah, kita akan segera sampai." Ucapnya menenangkanku.

Lilin kembali diserahkan, kemudian dengan sedikit entakan kecil, tubuhku kembali nyaman di gendongannya. Ada semerbak bau sampo yang lembut ketika hidungku tidak sengaja mencium rambut hitamnya. Dia berujar lembut, "Tenanglah, aku menggendongmu. Jangan banyak bergerak."

Langkah-langkah kakinya halus dan senyap. Diambil dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Dengan hanya satu lilin menyala, pencahayaan menjadi benar-benar minim, tapi itu tidak berarti untuknya.

Langkah kakinya terhenti, dia membungkuk tanpa menurunkanku, dan mengambil beberapa lembar daun yang dia temukan tumbuh subur di ujung sepatunya.

"Yibo, apa itu?" Aku bertanya karena penasaran.

"Daun Bakung. Aku perlu ini untuk mengobati kakimu. Apa itu sangat sakit?"

Aku mengangguk. Ada kehangatan yang mengalir saat jemarinya menelusup di sela-sela rambutku. Dengan penuh perhatian dia berkata, "Bersabarlah, Xiao Zhan." Dan aku sangat senang dengan perlakuan itu.

"Jangan berjalan terlalu cepat. Kau membuat kakiku terayun-ayun. Itu sakit." Dia berjalan dengan tempo sesuai, dan sangat lembut. Dengan kata lain, aku tidak ingin waktu-waktu ini cepat berakhir. Lebih lama seperti ini sepertinya lebih baik.

Ada sedikit penyesalan dalam suaranya yang jernih, "Ah, maafkan aku."

Kulit leher seputih batu giok sedikit memerah ketika aku mengecupnya. Wang Yibo terlonjak malu, kemudian tertawa dan berkomentar kecil, "Trik yang bagus."

Aku cukup puas dengan tingkahnya yang menggemaskan. "Tentu saja."


❄️❄️

Wang Yibo membakar daun Bakung dengan lilin hingga sedikit layu, kemudian meremat daun itu hingga sedikit halus, mengoleskannya di pergelangan kakiku yang terasa nyeri.

Cloud RecessesWhere stories live. Discover now