Tiga Puluh Dua

24.8K 3.4K 479
                                    

Sebenarnya, yang berat itu bukanlah diterpa rindu. Tetapi, mencoba melepaskan di saat hati sudah terlanjur terpaut jauh. Romantika cinta itu menyesatkan. Namun tetap saja, banyak yang berlomba merasakan.

Ketika patah hati tiba, jiwa yang nestapa merintih tersiksa. Nurani yang sekarat menanti bahagia. Seakan romansa adalah yang selalu ditunggu saat raga dan nyawa masih bersatu dalam tubuh.

Nyala ingat, ia pernah menjadi budak romansa ketika masa putih abu-abu. Pacar pertamanya adalah anak dari seorang perwira polisi. Namanya Iqbal, kakak kelasnya waktu itu. Mereka berpacaran hampir satu tahun, Iqbal adalah orang yang baik. Walau kerap dipalak oleh Bagus bila tengah bermain ke rumah atau mengantarnya pulang sekolah, namun Iqbal tidak keberatan. Yang jadi masalah, saat kemudian orangtua Iqbal mengetahui hubungan mereka. Di masa itu, Nyala terkenal sebagai anak dari janda genit dengan ayah biologis yang tidak jelas. Ibunya masih gemar bergonta-ganti pria.

Lalu, di situlah letak patah hati terbesarnya.

Orangtua Iqbal melabraknya.

Kemudian, Iqbal pun menjauhinya.

Sejak saat itu, Nyala bercita-cita menikahi laki-laki yang sudah tak lagi memiliki orangtua. Bukan apa-apa, latar belakang keluarganya terlalu suram untuk diterima.

Tetapi kini, ia justru menikah dengan pria yang memiliki potret keluarga indah.

Harun Dierja Aminoto, putra sulung Hassan Aminoto dan juga Dewi Gayatri.

Jadi, sudah seharusnya, Nyala tahu diri.

Ia tidak boleh meminta lebih.

Apalagi, jika menginginkan hati.

Iya, hati.

Hati dari pria yang menyapanya langsung ketika kaki-kakinya memijak kemewahan apartemen yang harga per unitnya tak mungkin terbeli olehnya di sisa kehidupannya.

"Hai ...."

Ia disapa oleh Harun Dierja Aminoto yang tampak segar sehabis mandi. Pria itu mengenakan kaos berkerah berwarna navy dan chinos berwarna khaki. Aroma sabunnya tercium ketika Nyala mulai memasuki living room.

Pria itu tengah duduk di sofa sambil membaca sesuatu di ipadnya, saat Nyala masuk tadi. Kacamata yang bertengger di hidungnya, membuat pria itu tampak serius.

"Kamu bertemu dengan saudara-saudara kamu?"

Nyala mengangguk kaku.

Khawatir bila keputusannya menemui Mayang dan Bagus dapat merusak citra publik yang dimiliki pria itu. Tetapi kemudian, ia menyadari bahwa dirinya tak seistimewa itu untuk dikenal publik sebagai istri dari ketua umum partai Nusantara Jaya. "Ada yang salah, Pak?" tanyanya hanya tuk memastikan diri.

Ia tak mau kalah pada perasaannya yang membingungkan ini.

Ia harus mengabaikan detak ribut di dadanya kini.

"Oh, nggak," Harun menggeleng. "Saya dengar, kakak laki-laki kamu mencalonkan diri sebagai wakil rakyat?"

Nyala meringis. "Bener, Pak."

Harun hanya mengangguk. "Tadi saya ingin langsung mengajak kamu makan malam bersama," ujarnya sembari berdiri. Ia meninggalkan ipadnya di atas sofa. Lalu memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana. Tidak mengintimidasi, hanya ingin memastikan sesuatu. "Tapi sepertinya, ada yang ingin saya konfirmasi terlebih dahulu pada kamu."

Sungguh, Nyala gugup.

Ia tidajk pernah merasa kebal dengan tatapan yang dilayangkan sang ketua umum padanya. Hanya saja, terkadang Nyala mencoba mengabaikan sirat mengancam di mata laki-laki itu. "Ya, Pak. Silakan," Nyala mempersilakan dengan kikuk.

Nyala RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang