Sebelas

21.5K 3K 221
                                    

Yes, Pak Ketum is back wkwkwk
Nyala tuh gak plinplan sih beb, cuma rada belum mateng aja hahahaa

Happy reading ...

Ini bukanlah situasi yang sama. Ketika bintang harus menyerah saat mencintai matahari. Namun semesta malah membuatnya terjebak bersama bulan. Karena ternyata, malam jauh lebih menghargai bintang dibanding siang yang mengolok sinar kecilnya.

Nyala tahu, ia tidak sebanding dengan seorang Harun Dierja yang terang menderang. Nyala juga paham, ia tidak seberharga ketua umum partai mereka yang luar biasa. Tetapi, hanya cara ini yang terpikir olehnya. Di tengah kemelut yang meresahkan kepala, Nyala mengerti betul ia bak penjudi yang tidak memiliki apa-apa.

"Kamu sedang mengancam saya?"

Nada itu terdengar sopan, mengalun di antara keheningan malam yang mencekam. Dan sejujurnya, justru Nyala yang merasa terancam.

Duduk berhadapan dengan Harun Dierja Aminoto di pukul setengah satu dini hari, sama sekali tak pernah terbayangkan. Kesulitan untuk menjumpai laki-laki itu, buat Nyala hampir menyerah.

"Bukannya kamu yang menginginkan semua ini?" Harun bertanya dengan wajah dingin penuh ancaman. "Saya sedang menuruti permintaan kamu. Dan apa yang saya dapatkan? Sebuah ancaman?" sudut bibirnya terangkat sinis. Kertas yang tengah ia pegang, kini ia remat. "Ternyata, saya kecolongan."

Demi Tuhan, justru Nyala yang merasa terancam sekarang.

Sampai-sampai, ia harus menelan ludahnya berkali-kali demi menetralkan kegugupan.

"Sa—saya berubah pikiran, Pak," suaranya mengalun terbata-bata. Mengabaikan dengkusan sinis dari lawan bicara, Nyala mengepalkan kedua tangannya dia atas pangkuan. "Dan saya nggak mengancam Bapak."

"Lalu ini?" Harun mengangkat kertas-kertas itu tinggi. "Apa maksud semua ini?"

Kembali meneguk liurnya, Nyala memberanikan diri menatap pria itu. "Saya sedang bernegosiasi dengan Bapak," ucapnya pelan. "Saya ingin melahirkan bayi ini," ungkapnya kemudian. Tangan yang tadi mengepal, kini menyebar di atas perut. Bahu yang sejak awal menegang, melemas dengan sendirinya. Saat ini, Nyala tengah memasrahkan semua pada keputusan pria tersebut. "Saya sudah memikirkannya dua hari ini, Pak. Dan ternyata, saya nggak sanggup melakukannya."

Aborsi.

Bahkan Nyala tak bisa mengucapkan kata itu.

"Baik Bapak maupun saya, kita berdua nggak menginginkan bayi ini," kini pandangan Nyala menunduk. Ia menatap miris gerak tangannya yang tengah membelai permukaan perutnya. Masih teramat rata. Belum ada yang berubah di sana. "Berhari-hari saya berusaha menolak keberadaannya, Pak. Dan berhari-hari pula, dia mencoba memberitahukan keberadaannya pada saja."

Entah itu dengan mual dan muntah di pagi hari.

Tingkat kesensitivitasnya yang semakin menjadi-jadi.

Perubahan yang juga mulai terjadi di tubuh. Seperti payudaranya yang tiba-tiba terasa mengencang atau nyeri.

"Kemarin, saya harus nangis hanya gara-gara saya pengin makan rendang tengah malam, Pak," Nyala tidak tahu mengapa ia merasa harus menceritakan semua ini. "Mendadak saja, saya jadi suka Cakwe," bibirnya melengkung pedih. "Tapi, tiba-tiba juga saya nggak suka pengharum ruangan di lobi DPP, Pak. Saya selalu mual tiap menghirup aroma disfuser. Kepala saya pusing terus-terusan. Saya tahu, Bapak pasti menganggapnya nggak penting, tapi bagi saya, dia lagi menunjukkan keberadaannya," Nyala menepuk perutnya pelan. Sementara itu, matanya mulai berkaca-kaca. "Bagi Bapak, mungkin dia hanya kecelakaan kerja. Tapi sampai kapan pun, saya akan mengingat bahwa saya pernah mengandungnya."

Nyala RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang