Enam

19.4K 2.5K 108
                                    

Berhentilah menyesali, mulailah meyakini. Karena hakikat hidup adalah melakukan, bukan meragukan. Tetapi terkadang, keyakinan itu tersamar oleh keadaan. Awalnya, memang banyak niat baik yang berseliweran. Namun pada akhirnya, segala kepentingan menyamarkan keberadaannya.

Well, begitulah intriks politik.

Semua yang berangkat menuju gerbong politik, memiliki niat mulia tuk memajukan bangsa. Tetapi entah kenapa, di setiap pemberhentian, selalu saja ada polemik.

"Sudah dipastikan wartawan tadi dari media mana saja?"

Hassan Aminoto tidak serta merta meninggalkan panggung politik. Posisinya saat ini adalah Dewan Pembina Partai. Di atas kertas, ia bertugas mengawasi. Ia adalah pendiri Nusantara Jaya. Hasil dari keyakinan bahwa ia mampu mendirikan suatu wadah yang dapat merangkul segala golongan. Dan apa yang ia ingin wujudkan itu berhasil. Tetapi, selalu saja ada benalu-benalu mengganggu yang merusak tatanan.

"Sudah ada yang membuat laporan?" kembali ia melemparkan tanya pada anak sulungnya. "Bagaimana pun juga, sudah ada korban," lanjutnya kemudian. Ia menderita kanker prostat beberapa tahun belakangan. Namun, fungsi tubuhnya benar-benar memburuk sekitar dua tahun yang lalu. Terlampau sering melakukan pengobatan dan mangkir dari sejumlah agenda politik, membuatnya harus merelakan kursi ketua umum partai pada salah seorang kadernya yang licik. "Ambil tindakan hukum. Penyusup nggak bisa ditolerir."

Jingga yang tadi memayungi langit telah berganti malam. Tak ada sepoi angin, malam ini terasa tenang. Siling door yang memisahkan ruang makan dengan kolam renang, terbuka lebar. Meja berbahan granit yang bisa diisi oleh 12 orang, hanya terisi lima orang saja. Dengan hidangan tertata lezat, Harun ingat ia baru mulai menyuap makanannya ketika pertanyaan beruntun sang ayah menuntut jawaban. "Wartawan dari Java Media," balasnya pendek. Karena yakin, sang ayah sudah mengetahui detailnya.

"Terus korbannya gimana, Mas?"

Perhatian Harun beralih pada adik perempuannya, Harla. Sambil membersihkan tenggorokkan dengan air putih di gelas, sejenak, Harun memilih tuk menghela. "Salah satu staf frontliner yang nggak sengaja ada di sana buat nelpon."

Nyala Sabitah.

Benar.

Korbannya adalah Nyala Sabitah.

Astaga ....

Ada insiden sore tadi.

Sebelumnya, Harun memang sudah diberitahu bahwa ada penyusup dengan kedok sebagai wartawan. Harun yang ingin meminimalisir keributan, memerintah ajudannya bersikap seperti biasa saja. Seolah-olah, mereka tidak mengetahui keberadaan penyusup itu.

Jadi, ketika Nyala Sabitah mencegatnya di tengah perjalanan menuju mobil, Harun sudah teramat was-was dibuat wanita itu.

"Kronologinya gimana sih, Mas?" Harla memiliki dua orang anak kembar. Dengan rumah yang berada di komplek yang sama, ia meninggalkan anak-anak kembarnya dengan pengasuh mereka. "Jadi rame? Belum ada yang dimuat nih," ia menggulirkan laman sosial medianya.

"Ditutupi 'kan, kasusnya, Mas?" sambar Hasbi, adik laki-laki Harun.

Harun mengangguk membenarkan. "Kalau semua yang terjadi di partai jadi bahan konsumsi publik, kapan lagi Nusantara Jaya bangkit? Makanya, sebisa mungkin kami meredam berita-berita semacam itu."

"Terus korbannya gimana sekarang?" tanya Harla lagi.

Sembari menyeruput air putih, Harun merasa begitu dehidrasi beberapa hari ini. "Korbannya ada di rumah sakit," jawabnya dengan aura tenang. "Putra yang ngurus. Kalau ada apa-apa, dia pasti ngabarin."

Benar.

Nyala Sabitah berada di rumah sakit saat ini.

Empat orang penyusup yang berpura-pura sebagai wartawan dari Java media, membuat keributan di teras lobi. Mereka mencoba merangsek mendekatinya, namun abai pada keberadaan Nyala Sabitah yang berada di sekitarnya. Walhasil, wanita itu terdorong jatuh. Kemudian berguling di beberapa anak tangga terakhir teras lobi.

Nyala RahasiaWhere stories live. Discover now