Dua Puluh Satu

23.5K 3.1K 216
                                    

Gelap berhasil mengusir terang. Mengembalikan matahari agar lelap di peraduan. Memerintah rembulan berjaga di langit kelam. Menarik paksa jutaan bintang-bintang yang berdiam di balik awan.

Faktanya, gelap adalah pemilik kuasa tertinggi yang berhasil menyandra malam demi mendekap sang siang. Karena kelak, ia akan menyerahkan tahta tersebut pada siang yang tengah sibuk berdandan untuk fajar yang menanti dengan kuas keemasan. Mengamit matahari sebagai tawanan yang 'kan mengabdi pada siang. Lalu kemudian, gelap akan kembali memakannya saat petang.

Harun tak ingat, kapan terakhir kali ia dapat bersantai menikmati malam. Sepertinya, sudah sangat lama ia tidak lagi merokok di balkon apartemen, sambil melamun menengadah menatap bintang-bintang. Walau tampaknya ia bahagia dengan bertemu banyak orang dan mengeluarkan tawa di udara, percayalah, semua hanya basa-basi semata.

Rasanya, tiada malam tanpa bertemu para pejabat.

Sepertinya, ia tak pernah absen tertegur sapa dengan para orang hebat.

"Paling nggak, Bapak sudah seharusnya membiarkan rumah yang di Puri Indah, sebagai tempat pertemuan, Pak," usul Putra setelah memilikirkan matang-matang. "Setelah deklarasi resmi nanti, akan banyak tamu yang berdatangan. Perjanjian-perjanjian politik yang wajib dibicarakan, nggak bisa lagi kita lakukan di luar. DPP juga nggak bisa dibuka selama 24 jam. Karena hal itu dapat memicu kecurigaan. Jadi, daripada membawa tamu-tamu ke apartemen Bapak, lebih baik, kita bertemu mereka di Puri Indah."

Harun memiliki rumah pribadi di salah satu cluster mewah tempat tinggal para pejabat. Sebenarnya, rumah itu dibelinya hanya untuk investasi. Sudah selesai di renovasi sejak beberapa tahun yang lalu. Namun, Harun belum pernah menempatinya. Ia terlampau nyaman tinggal di apartemen yang kecil dan sederhana. Mengingat, ia hanya tinggal sendiri selama ini, ia merasa tidak membutuhkan tempat tinggal yang besar.

Tetapi, setahun yang lalu, apartemennya yang nyaman itu dimasuki penyusup. Hal yang tentu saja membuatnya harus pindah ke apartemen yang ia tempati sekarang. Walau tak menyukai design mewah khas perusahaan pengembangnya, Harun harus akui, keamanan yang mereka tawarkan sangat mumpuni.

"Kalau Bapak setuju, saya akan mulai mengatur perabotan yang kita butuhkan untuk menyambut tamu-tamu Bapak, nanti."

Mereka sedang dalam perjalanan menuju sebuah pub tempat para kader tengah berkumpul. Setelah melewatkan makan malam bersama, karena ia terlanjur memiliki janji dengan agen property yang mengurus beberapa propertynya yang berada di luar kota—untuk periode kampanye nanti—Harun pun akhirnya baru memiliki waktu sekarang ini.

"Lagipula, Pak, pertemuan di luar nggak seratus persen aman. Puri Indah akan kita lengkapi dengan sistem keamanan lengkap. Jadi, kita bisa menentukan siapa saja tamu yang kita persilakan."

Astaga, asisten Harun itu sudah mengoceh sejak tadi.

Sumpah, Harun makin pusing mendengarnya.

"Bisa kita bahas masalah ini besok, Put?" ia lirik Putra tanpa ekspresi. "Saya sedang berusaha mengumpulkan tenaga saya untuk menghadapi kader-kader nanti. Jadi, tolong, bantu saya menciptakan ketenangan sekarang."

"Baik, Pak," Putra menutup mulutnya rapat.

Dan itulah yang Harun butuhkan.

Sedikit saja ketenangan.

Karena setelah ini, ia akan kembali memasuki tempat berisik berisi para kader-kader yang tak kalah berisik. Dan yang pasti, mereka semua akan menyerukan namanya. Harun harus kembali berpura-pura menikmati acara. Ia wajib tertawa demi menyamarkan rasa lelahnya.

"Kalian harus memastikan, bahwa minuman saya nanti aman," sebelum menutup mata, Harun mengingatkan para bawahannya. "Rafael, pastikan nggak ada gerak mencurigakan yang terlewat. Dan Putra, saya nggak akan menolerir kesalahan."

Nyala RahasiaWhere stories live. Discover now