Enam Belas

21K 2.8K 200
                                    

Chapter ini panjaaang
Happy reading ...

Makin hari, Harun merasa tekanan yang diberikan partai padanya kian berat.

Jabatan sebagai ketua umum, ibarat ujung tombak runcing yang harus melesat mengenai sasaran. Kali ini, target mereka adalah menjadikan Harun sebagai calon wakil presiden. Harun wajib memilih pasangan yang benar-benar akan membawanya sampai istana Kepresidenan. Sebab, pada periode selanjutnya ia diharapkan mampu bergerak maju untuk mencalonkan diri sebagai RI 1.

Ck, gila 'kan?

Lima tahun ke depan, Nusantara Jaya pasti telah benar-benar pulih dari citra miring yang pernah dilakukan oleh ketua umum terdahulu. Sebab, para kader yang sekarang adalah tokoh-tokoh baru yang dinilai memiliki impact lebih besar dibanding para kader terdahulu. Untuk itulah, Nusantara Jaya diperkirakan mampu membawa ketua umum mereka menuju kursi RI 1.

Namun, di antara padatnya jadwal pertemuan dengan para tokoh-tokoh politik yang resmi mendukungnya sebagai bakal calon presiden, Harun tak boleh ketinggalan pada agenda tuk makan malam bersama keluarganya. Bahkan hari ini, ia sudah sampai di rumah orangtuanya sore hari. Bukan karena ia sengaja datang lebih awal. Tetapi memang begitulah permintaan sang ibu yang menitipkan pesan pada asisten pribadinya, untuk mengosongkan jadwalnya di hari Rabu sejak sore hari.

"Mama minta kamu datangnya sore lho, Mas," Dewi Gayatri menyambut putra sulungnya yang baru saja tiba.

Harun menyalami sang ibu sambil tertawa kecil. Tak lupa, ia kecup kedua pipi ibunya tersebut seperti sebagaimana mereka biasa berinteraksi. "Jam enam masih sore, Ma," guraunya sambil melihat putaran waktu di arlojinya.

Ya, jam enam lewat sepuluh menit.

"Sore yang Mama maksud itu, jam empat atau jam lima, Mas," ia pukul lengan sang putra.

Beriringan masuk ke dalam rumah, Harun menggandeng ibunya. "Memangnya mau ngapain sih, minta semuanya datang sore-sore?"

"Ada deh," sang ibu menjawab sambil tertawa. "Udah, sana mandi dulu, Mas. Pakai baju yang ganteng," ia mengerling pada putranya dengan ekspresi jenaka.

Harun sudah menyipitkan mata, namun ibunya telah terlebih dahulu berjalan menuju arah dapur.

"Pakde!"

Begitu memasuki ruang keluarga, Harun baru menyadari bahwa para keponakannya sudah berada di sini. Seorang anak laki-laki berusia lima tahun berlari ke arahnya. Membuat Harun otomatis menghentikan langkah seraya membungkuk demi menyongsong anak itu. "Hallo, Mas Saga," ia menggendong putra pertama dari adik laki-lakinya.

Sebagai anak pertama yang belum menikah, Harun memiliki empat orang keponakan. Tiga orang di antaranya adalah perempuan. Dan yang ada di gendongannya saat ini merupakan satu-satunya keponakan lelakinya. Semua keponakannya memanggil Harun disengan sebutan "Pakde". Hal tersebut merujuk karena Harun adalah kakak dari orangtua masing-masing keponakannya. Ibunya berasal dari suku jawa, hingga para keponakannya harus memanggilnya sesuai tutur. Padahal, Harun lebih senang dipanggil "Om" atau "Uncle". Namun, ya, dalam keluarga mereka, ibunya adalah pemegang kuasa tertinggi.

"Pakde, Miss Nycta titip salam. Kapan Pakde mau anter Mas lagi ke sekolah?"

Harun pernah mengantar keponakannya ke sekolah beberapa kali. Dan selalu bertemu dengan wali kelas keponakannya itu. Sudah sejak lama Harun mendengar dari adiknya, Hasbi, bahwa wali kelas sang keponakan, sering kali bertanya-tanya mengenai dirinya. Seperti yang sudah-sudah, Harun tak merespon apa-apa. Kadang-kadang, adik-adiknya memang terlampau iseng padanya. Mereka senang sekali menjodoh-jodohkan dirinya dengan wanita yang menurut mereka merupakan kriterianya.

Nyala RahasiaWhere stories live. Discover now