Bagian Dua Puluh Satu

21.5K 2.9K 51
                                    

BAGIAN DUA PULUH SATU, PEREMPUAN DALAM LUKISAN

*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*

Wiuuuu! Huplaaa! Yeaaaay!

Tangan gemuk Lala merentang mengitari awan kapas berwarna-warni. Wajah berbinarnya mengedar ke sana kemari.

Bagaimana tidak sesemangat ini? Dunia yang ia lewati tersusun dari berbagai macam permen dan kue, tanahnya terbuat dari lapisan selai. Ada istana jelly pula!

Wujud bebatuan pun mirip seperti ayam panggang, dilengkapi pohon-pohon dari sayuran lezat dan kentang.

Ini luar biasa! Lala mau tinggal di sini saja selamanya!

Insting balita itu kemudian tertuju pada eksistensi paling mencolok di dunia bawah sadar tersebut. Istana jelly, ayo mulai kunyah dari istananya!

Labelina hinggap di bagian menara bulat lalu, hap!

"Nyam nyam nyam."

Huh? Hambar? Kenapa jelly-nya tidak berasa apa-apa, ya?

"Apa yang dia mimpikan sampai mengunyah jempol begitu?" Sebuah suara desisan khas pria tua tiba-tiba merasuki dunia impian Lala.

Eh? Siapa? Lala tengok ke kanan kiri, tidak ada seorang pun di sekitarnya.

"Kebiasaan tidurnya memang begitu." Suara milik pria lain ikut menimpali.

Kali ini, Labelina merasa mengenali suara rendah yang terakhir. Yayah?

Tiba-tiba, tubuh Lala terasa berat. Dimensi penuh makanan yang disukainya mendadak hilang begitu saja. Berubah menjadi ruangan tak terbatas tanpa cahaya.

Huft! Sayang sekali, ia belum sempat mencicipi kuenya satu per satu.

Alis tipis Lala memberengut kesal. Terlebih ketika pipi penuhnya diusik oleh sentuhan lembut tangan-tangan manusia dewasa.

Mau tidak mau, mata biru itu terbuka. Bayangan buram dua lelaki di sekelilingnya adalah hal pertama yang Lala lihat, sehingga ia harus mengedipkan mata berulang kali.

Rupanya, Gestan tengah menjapit dua sisi pipi hingga bibirnya mengerucut menyerupai ikan.

"Yawyah?" lirih Lala lemah. Butuh beberapa waktu bagi si Kecil untuk mengembalikan kesadarannya seratus persen.

"Apa yang kau lakukan? Singkirkan tanganmu!" gertak Margrave menepis tangan Gestan.

Duke justru makin gencar memencet pipi Lala alih-alih menyingkir.

"Lewpaskan Lawla."

Barulah pria itu menurut begitu Labelina sendiri yang menegurnya. Sambil mengucek mata, Lala bangkit dari tidur. Ternyata dia dibaringkan di atas sofa dengan selimut mini. Nuansa gelap nan elegan ruangan ini jelas-jelas bukan kamar biasa yang ia tempati.

"Dyuk? Yeti?" Kenapa mereka membawanya kemari? Lala mengedarkan perhatian. Oh, ada Sona, Nana dan Paman Juliet juga.

Samar namun pasti, alis Duke mengernyit kesal. Lupakah dia dengan kesepakatan kita terakhir kali?

Duke menghela napas, frustasi. Rupanya sulit membiasakan bayi perempuan ini memanggilnya 'Ayah'. Tidak ada gunanya juga merasa marah pada sorot biru yang bulat dan polos itu.

"Baiklah. Maaf membangunkanmu tengah malam, tapi ada hal mendesak yang perlu kami tanyakan padamu," ujarnya, terpaksa mengesampingkan masalah pertama.

Sebelum Margrave menyelipkan tangan di bawah ketiak Lala untuk menggendongnya, Gestan bergerak gesit lebih dulu.

"Tulang Anda sudah rentan. Tolong hindari membawa beban berat," sindir Duke, membalik alasan Delzaka yang sering pria tua itu jadikan tameng.

"Cih!"

Rupanya, tak hanya Margrave yang kena 'tamparan' tersebut. Seonggok daging di gendongannya pun juga ikut tersulut.

"Lala tak belat!" protes Lala. Gempal-gempal begini, dia juga punya naluri perempuan yang sensitif terhadap berat badan tahu!

"Oh, ya? Setelah menggigiti habis makanan di kastilku?"

"Hmph!" rajuk Lala, membuang muka. Perkataan Duke adalah fakta sehingga dia tidak mampu membantah.

Bibir Gestan membentuk sebuah sabit tipis. Entah sejak kapan, menggoda Lala menjadi hiburan tersendiri baginya. Meski pada akhirnya ia mengalah juga.

"Jangan salah paham. Bayi memang harus berat."

"Kenapa?"

"Karena mereka sedang bertarung dengan masa pertumbuhan."

"Beltalung cepelti palawan?"

"Ya. Senjatamu adalah makan, tidur, bermain."

"Itu..., cenjata?" Kepala Lala memiring kebingungan. 

Ini dia bagian menariknya. Cara Lala bertanya, mengerutkan alis, kebingungan, mengerucutkan bibir, mengerjap, tertawa, dan lain-lain.

Semua itu menjadi daya tarik Lala yang membuat orang dewasa manapun terpancing untuk memasukkannya ke dalam karung. Termasuk Gestan, mungkin?

Baiklah, ia bercanda. Duke hanya merasa, Lala seperti obat yang membuatnya kecanduan. Rasa tidak nyaman menggerogoti pria itu andai ia tak menengoknya setidaknya satu kali dalam sehari. Aneh, bukan?

Jikalau abokran ada dalam wujud manusia, mungkin itu adalah Lala.

"Benar. Jika kau rajin melakukan ketiganya, maka kau akan menang," tukas Duke, mengacak rambut berantakan Lala usai menurunkannya di depan sebuah papan luas yang tertutup kain hitam.

"Ung, baikah. Lala akan lajin mamam, bobok, dan main cupaya menang," patuh Lala. Meskipun ia sendiri tidak tahu siapa si 'Masa Pertumbuhan' yang akan menjadi lawannya itu.

Luar biasa, dari mana Duke berhati besi itu belajar kalimat bujukan barusan? Margrave dan ketiga pekerja Aslett tersebut termangu heran.

Mereka tidak tahu saja. Beberapa waktu lalu, saat Duke mendatangi perpustakaan kastil untuk mencari jurnal yang dibutuhkan, perhatiannya tercurahkan di bilik tujuh belas tempat dimana kakinya tak pernah menyentuh.

Iseng melewatinya, pria itu mengambil satu buku berjudul 'Ayahku Keren'.

Coba ia cermati buku berisi pedoman menjadi ayah yang baik itu, walau selama membaca Duke terus mencemooh pengarangnya menganggap buku tersebut berisi omong kosong.

Lantas, adakah yang bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya? Benar, entah sadar atau tidak, Gestan terpengaruh pada isi buku dan mempraktekkannya langsung tiap kali bertemu Lala. Sungguh memalukan.

Baiklah, melanjutkan tujuan mereka membawa Labelina kemari, Duke menarik napas panjang. Dia siap mendengar apapun jawaban Lala. Mau Lala mengenal potret Hara sebagai Bubu-nya atau tidak, Gestan tidak peduli.

Selama belum menemukan orang tua kandungnya, Labelina tetaplah putrinya.

"Ada yang mau kami tunjukkan padamu."

"Apa?"

Sebelum menarik kain hitam dari potret besar tersebut, Gestan meminta persetujuan Delzaka.

"Lakukan."

Permintaan telah diterima. Kedua tangan Joviette langsung menyajikan lukisan dari masing-masing penutupnya.

Be My Father?Where stories live. Discover now