32. Senyum Batavia

65 6 0
                                    

Bab 32

Semalam Aira sudah izin pada suaminya, jika hari ini dia akan ke kampus untuk mengambil toga. Karena tiga hari lagi dia akan di wisuda. Setelah merasa puas bercermin, Aira segera mengambil tas gendongnya. "Eh! Kan Ai biasanya dianter Ayah kalo enggak Kak Zero."

"Terus kenapa kalo biasanya di anter Ayah atau Zero?" tanya Zaidan yang baru masuk ke kamar. Zaidan menggunakan kaos oblong dan celana pendek selutut.

"Ai bingung berangkat naik apa Bang," jelas Aira dengan wajah polos.

"Abang tanya boleh?" Aira mengangguk.

"Abang ini siapanya Aira?"

"Suami."

"Gunanya suami apa?" tanya Zaidan lagi.

"Bantu istrinya bisa, terus kasih istri nafkah, dan masih banyak. Ai gak mau jelasin," jawab Aira. Dia diam sebentar saat melihat senyum tipis yang terlukis di wajah suaminya.

"ABANG!" teriak Aira senang. "Kenapa gak bilang dari tadi kalo mau anter Ai?"

Zaidan mengaruk kepalanya yang tidak gatal, karena bingung mau menjawab. Dia langsung mengalihkan dengan bersiap, "Abang siap-siap dulu. Ai tunggu dibawah gapapa."

"Oke!"

Sesuai perintah suaminya, Aira segera turun dan menunggu di bawah. Dia menunggu di ruang keluarga, disana ada Umma Azrina, Aba Zaaki, dan Jihan.

"Ai mau ke mana?" tanya Umma Azrina pada menantunya.

"Ai mau ke kampus, Umma. Ini nunggu Abang dulu," jawab Aira.

"Masih ke kampus?" heran Jihan. "Bukannya tinggal wisuda?"

"Iya, Kak. Hari ini mau ambil toga sama gladi buat acara besok."

"Bang Zai nungguin?"

"Enggak tau. Tapi kan pasti lama, nanti Ai minta pulang aja. Kasihan Abang."

Mendengar ucapan istri kecilnya Zaidan jadi salah tingkah sendiri. "Gak salah pilih," batinnya.

"Tuh Abang dah siap. Berangkat sekarang, biar Ai gak telat." Umma Azrina menyarankan mereka segera berangkat.

"Kami pamit, Umma-Aba. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."

𓅪𓅪𓅪

Aira segera keluar gedung acara wisuda ketika gladi sudah selesai. Dia bahkan meninggalkan Ainun yang mengikutinya dengan wajah kesal.

"Abang pasti nunggu lama," batin Aira khawatir. Setelah sampai kampus, Aira meminta Zaidan untuk kembali pulang saja. Tapi langsung ditolak olehnya, dia kekeh ingin menunggu Aira sampai selesai.

Aira yang tidak mau jadi istri durhaka memilih mengalah dan membiarkan suaminya menunggu berjam-jam. Jadilah dirinya segera menyusul Zaidan yang menunggu di kantin.

Sampai di kantin, pemandangan yang dia lihat adalah Zaidan yang sibuk dengan laptopnya. "Syukurlah!" bisik Aira.

"Udah lega?" tanya Ainun yang mengagetkannya.

"Aaa!" Aira refleks memukul Ainun, "Awh! Sakit Ai!"

"Eh!"

"Maaf, lo juga bikin kaget aja."

Ainun menarik napas lalu menghembuskannya kembali beberapa kali. "Sabar Nun. Harus sabar," ucap Ainun.

Aira yang melihat Ainun kesal merasa tak enak. "Hari ini gue traktir."

"Deal?"

"Deal!"

"Oke gue mau samperi Abang suami dulu. Udah lama dia nunggu di sini."

Aira segera berjalan mendekat pada Zaidan. Ketika sudah berdiri di hadapannya, Aira melihat sekitar yang menatap ke arahnya. Bukannya merasa sedang menjadi pusat perhatian, Aira merasa risih dan segera duduk disamping Zaidan.

"Assalamualaikum, maaf Abang nunggu lama."

Aira meraih tangan suaminya dan menciumnya dengan khidmat. "Wa'alaikumussalam, enggak terasa lama. Abang disini juga ga cuman diam aja," jawab Zaidan dengan senyum manis.

Aira langsung menutup wajah Zaidan dengan kedua tangannya. "Kenapa?" heran Zaidan.

"Nanti mereka tambah suka sama Abang," sebal Aira.

Zaidan tertawa pelan, dia menyingkirkan tangan Aira yang berusaha menutupi wajahnya. "Mau pulang aja?"

Aira menggeleng, "Gak bisa Abang. Ai ada janji mau traktir Ainun. Tuh dia udah pesan makanan." Aira menunjuk pada Ainun yang duduk di meja sebelah dengan makan pesanannya.

"Ai mau makan juga? Pasti capek habis gladi," tanya Zaidan membenarkan kerudung Aira karena ada anak rambut istrinya yang keluar.

"Hehehe, tau aja. Tapi Abang nunggu lama lagi gapapa?"

"Gapapa, sana pesan. Sekalian untuk Abang," titah Zaidan.

"Siap kapten!"

Aira dengan hati riang segera memesan mie ayam bakso besar dua porsi dan mengambil dua botol mineral. Sejak menikah, Aira selalu memperhatikan Zaidan yang lebih suka minum air putih dari pada teh. Tapi tetap saja, walau sudah ada air putih Aira tetap memesan es teh.

Setelah selesai memesan, Aira kembali dengan membawa dua botol minum untuk mereka. Sedangkan mie ayam dan es teh akan diantar. "Nih! Abang minum dulu." Aira menyerahkan satu botolnya.

"Makasih," ucap Zaidan mengusap kepala Aira yang tertutup kerudung.

Mahasiswi yang ada di kantin sampai melongo melihat tingkah Zaidan. Bagaimana tidak melongo? Saat Aira belum datang, laki-laki itu  hanya memasang wajah datar. Bahkan ada yang berusaha mengajaknya berkenalan juga tidak ditanggapi sama sekali.

Ainun yang juga masih disana juga ikut melongo melihat Aira yang biasa saja dengan perlakuan suami sendiri. "Ini anak gak takut suaminya di embat apa ya?"

"Udah lah! Bukan urusan gue juga, ini rumah tangga Aira. Dan gue gak berhak ikut campur," batin Ainun.

Ainun yang sudah menyelesaikan makan siangnya, berdiri dan menghampiri pasutri tersebut. "Ai, gue duluan. Makanannya biar gue bayar sendiri."

"Enggak usah. Biar saya yang bayar sekalian, terima kasih sudah jaga istri saya," ucap Zaidan.

Ainun hanya mengacungkan jempol dan pamit pergi, "Gue duluan. Assalamualaikum!"

"Wa'alaikumussalam."

Aira langsung bertanya pada Zaidan, "Maksud Abang tadi apa?"

Belum sempat menjawab, makanan pesan mereka tiba. Aira segera melupakan pertanyaannya dan fokus makan dengan lahab. "Pelan-pelan."

Aira mengangguk.

🐨🐼, 27 April 2024

Senyum Batavia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang