Keputusan

4.4K 1.1K 109
                                    


Apdettttttt!!!

*****

"Kira-kira mereka obrolin apa ya?" tanya Athira pensaran.

Rora tersenyum. "Suamiku wajahnya memang agak galak, tapi dia sebenarnya berhati hangat. Lagi pula aku yakin suamimu tidak akan terintimidasi."

Athira mengangguk. Bahkan dia tak pernah membayangkan Sambada bisa terintimidasi oleh siapapun. Sambada sangat tenang. Dia bisa mengendalikan situasi apapun.

"Jadi ... aku akan memiliki keponakan?" tanya Rora dengan antusias.

Atira mengangguk dan tersenyum malu. "Nggak kecepatan kan Kak?"

"Maksudmu?"

"Kami belum sebulan nikah."

"Bukankah itu sebuah keberuntungan. Tidak semua wanita mendapatkan keistimewaan ini. Bisa langsung hamil."

Athira mengangguk.

"Aku duga kamu tidak mengetahuinya sampai masuk ke rumah sakit?"

"Iya, Kak," jawab Athira sedih. "Aku nggak bakal tahu kalo nggak dibawa ke rumah sakit. Untung bayiku kuat. Kalo nggak aku pasti udah keguguran. Aku emang bodoh banget."

"Jangan menyalahkan diri," ujar Rora lembut. "Tidak ada Ibu yang ingin terlambat mengetahui kehamilannya, apalagi sampai kehilangan bayinya."

Athira menatap Rora yang tampak menahan kesedihan.

Rora tersenyum. Dia mengetahui semua hal berat yang telah dialami Athira. Terlepas dari tujuannya membantu sang suami, Rora benar-benar ingin menguatkan Athira.

"Aku mengatakan hal ini karena mengetahui rasanya. Kamu sudah mengalami banyak hal menyakitkan. Saat kita, sebagai wanita mengalami hal itu, kadang kita tidak menyadari perubahan yang terjadi pada diri kita sendiri. Terutama saat baru saja kehilangan orang tua."

Rora tak akan lupa bagaimana dulu Aizar menghamilinya. Andai tak ada kedua orang tuanya sebagai alasan untuk  bertahan, Rora pasti sudah bunuh diri. Athira jauh lebih beruntung dibandingkan dirinya. Karena pria yang mencintainya, berusaha selalu ada untuknya.

"Aku minta maaf, Kak."

"Minta maaf untuk apa?" tanya Rora saat Athira tiba-tiba mengatakan hal itu.

"Karena nggak ada pas Kakak ngalamin itu." Athira pernah mendengar selentingan kabar tentang Rora dahulu.

Rora tersenyum. Dia menggenggam tangan Athira. "Kamu tidak salah apapun, karena saat aku kehilangan Ibuku, kamu pasti masih kecil."

"Sekarang aku ngerti maksud Kakak. Kehilangan Ibu emang sulit banget."

Rora mengangguk. Kenangan itu tak akan pernah hilang dari ingatannya. Dia tak hanya kehilangan ibunya, tapi juga bayi dalam kandungannya. Insiden yang berubah menjadi malapetaka sangat pahit karena merenggut semua kebahagiaan dalam keluarganya dalam sekejap.

"Tapi aku sedang membahas tentang kehilangan Ayahku. Karena saat itu terjadi, aku juga sedang hamil. Anak keduaku. Sama sepertimu, andai tak dibawa ke rumah sakit, aku tak akan tahu sedang hamil lagi. Penderitaan kadang membuat kita melupakan rasa sakit di tubuh."

Athira mengangguk. "Kisah kita agak mirip ya, Kak. Aku kehilangan Bapak dulu, baru Ibu. Kakak malah kehillangan Ibu dulu. Untung Kak Aizar selalu ada buat nguatin Kak Rora."

Rora tersenyum. Dia hampir tertawa kecil. Andai Athira tahu bahwa Aizarlah sumber dari segala penderitannya di masa lalu. Pria itu hidup untuk menyiksanya.

"Jadi," ujar Rora yang tak mau mengenang hal terlampau pahit dalam hidupnya. "Kamu harus berhenti menyalahkan diri. Kamu tidak bodoh ataupin lalai. Terus menerus menyalahkan diri tidak baik. Karena kamu harus bahagia. Jika kamu bahagia maka anakmu akan tumbuh dengan baik."

Has To Be YouМесто, где живут истории. Откройте их для себя