Tarik Ulur

4.5K 1.1K 143
                                    

*****

"Kok kamu diam? Ayo ngomong?" tanyaku tak sabaran saat Qahi malah hanya menatapku. Dia kenapa sih? "Qahi ...."

"Tidak."

"Tidak apa?" tuntutku lagi. "Tadi kamu bilang mau ngasi tau?"

Qahi menghela napas panjang.

"Ayo ngomong. Kamu udah janji. Janji nggak boleh diingkarin."

"Tadi aku tanya apa kamu sudah siap atau tidak."

"Dan aku jawab udah. Jadi ayo, kasi tau aku."

Qahi menggeleng. "Kamu belum siap. Dan mungkin kamu tidak akan pernah siap."

Jawaban Qahi nggak hanya bikin aku tambah penasaran, tapi juga ngerasain firasat buruk.

Dugaanku kalo ada sesuatu yang terjadi di rumah sakit kemarin, kayaknya beneran. Hal yang bikin sikap Kak Sambada berubah drastis jadi lebih emosional hari itu. Sikap yang bikin suamiku berubah murung banget.

Aku harus tau. Kalo mau perbaiki semua ini, aku harus tau akar masalah kami apa. Dan sekarang, peluang terbesarku cuma Qahi. Tapi masalahnya nih anak lama-lama ngeselin.

"Dih  kamu nilainya sembarangan. Aku siap kok."

"Tidak."

"Qahi ...."

"Fakta ini akan merubah banyak hal."

Sumpahlah aku gemes banget. Dia kenapa mancing-mancing sih kalo ujungnya nggak mau ngasi tau. Aku nggak bisa namanya penasaran. Aku sering jadi kepikiran terus nggak tenang.

"Berubah atau nggak, itu urusanku. Maksudku,  aku  yang mau kamu ngasi tau. Jadi apapun yang terjadi ntar, aku harus tanggung." Jawabanku sendiri menggambarkan firasatku yang buruk. "Sumpah ya Qahi, aku gedek banget kalo kamu main tarik ulur kayak gini. Tadi aja mau ngasi tau, sekarang malah gini."

"Maafkan aku."

"Njiahh, malah minta maaf. Aku maunya jawaban. Ngapain kamu minta maaf? Kecuali ... kamu salah dalam hal ini? Tadi kamu bilang fakta yang bikin Kak Sambada sakit kan? Kamu apain lagi suamiku?"

Qahi terperangah, lalu detik berikutnya geleng-geleng kepala. Dia kelihatan sedih banget.

"Apa?" tanyaku masih nyolot.  Awas aja kalo dia apa-apain suamiku lagi, kujambak dia sampai botak. Pokoknya nggak boleh ada yang marahin suamiku kecuali ... aku.

"Ternyata di matamu aku selalu jadi penjahatnya ya, Ra."

"Eh?" Bentar-bentar, kok Qahi mendadak melow gini. Nyolotku kan jadi nggak bisa maksimal.

"Jika menyangkut Kak Sambada, pasti aku yang salah. Meski aku tidak melakukan apapun."

Ucapan Qahi membuat sebersit rasa berasalah menghampiriku. "Bukan gitu, tapi kan aku belajar dari pengalaman." Meski pahit, aku harus mencoba untuk selalu  jujur. "Dari dulu kan kamu orangnya egois banget. Aku ngomong gini bukan gara-gara nikah sama Kak Bada ya. Jauh sebelum kita jadi kayak gini, kalo dipikir-pikir, kamu itu selalu mau dituruti  dan menang sendiri. Malah Kak Bada yang selalu salah dan dipaksa ngalah."

Aku menjeda kalimat. Masih mencoba untuk menjelaskan pada Qahi maksudku yang sebenarnya. "Kak Bada dari dulu sering jadi korban buat nutupin kelakuan kamu. Kalo kamu mau objektif, kamu pasti bakal sadar, Kak Sambada sejak kita masih kecil sering banget jadi samsak Om biar kamu nggak dihukum."

Qahi tertegun, sebelum kemudian mengangguk dengan sedih.

"Kamu benar, sejak dulu, Kak Sambada selalu jadi sosok Kakak panutanku. Aku ingat teman-temanku iri, karena aku punya Kakak yang kelakuannya beda banget sama kakak-kakak mereka. Kak Sambada siap menghadapi apapun buat melindungiku." Qahi menatap telapak tangannya, senyum getirnya kelihatan banget. "Sebelum semuanya berubah menjadi seperti ini"

Has To Be YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang