Hari H?

5.6K 1.3K 206
                                    

Hari ini harusnya jadi hari paling bahagia buat aku. Karena ini adalah hari pernikahanku sama Kak Sambada. Namun, bukan rumahnya dengan dekorasi  indah yang kulihat saat ini, melainkan terop-terop berwarna biru yang dengan beberapa kursi yang masih diisi oleh tamu-tamu yang datang untuk tahlilan.

Katering yang dipesan Ibu memang benar-benar datang, tapi untuk menjamu sanak keluarga yang datang untuk mendoakannya. Mereka pulang dalam keadaan kenyang seperti yang Ibu inginkan, tapi tak satu pun yang tampak bahagia.

Para Om dan Tanteku silih berganti ingin menemaniku. Mengucapkan kata bela sungkawa dan penguat yang tak sepenuhnya berhasil kucerna. Ini hari ketiga kepergian Ibu, tapi semuanya masih terasa seperti mimpi bagiku.

Nggak ada Ibu yang pakai baju kebaya dan dandanan cetar yang menyambut tamu dan meminta doa restu untukku. Baju yang akan digunakan Ibu masih tergantung di pintu lemarinya. Di kamarnya yang masih menguarkan aroma parfum Ibu, tapi terasa dingin sekali.

Pemandangan ini terlalu nyakitin buat aku. Jadi aku memilih masuk dan berbaring di ranjang Ibu.

Dulu Bapak pergi mendadak juga, tapi aku masih punya Ibu. Sekarang Ibu juga pergi mendadak, tapi aku nggak punya siapa-siapa lagi.

"Nak, makan dulu ya..., " bujuk Tante Permata yang masuk ke dalam kamar Ibu.

Aku bahkan nggak bisa pura-pura tegar sekarang. Untung aja aku nggak pingsan lagi. Sejak tahu Ibu tiada, Tante Permata bilang aku pingsan berkali-kali. Aku lupa, beneran. Otakku terlalu penuh buat nginget sesuatu.

Selain harusnya sekarang aku pakai baju pengantin, bukannya baju terusan hitam dengan mata sembab kayak gini.

Ah, aku lupa udah putusin Kak Sambada. Kayaknya ini beneran azab dari Allah buat aku. Aku itu udah jahat banget sama Kak Sambada. Jadi Allah kasi hukuman biar aku tau rasanya kehilangan.

Tapi kan nggak harus sekejam ini juga ya? Maksudku, dipisahin kematian tanpa sempat ngucapin selamat tinggal itu adalah jenis hukuman yang nggak bisa ku tanggung. Tapi kayaknya Allah nggak peduli. Mungkin kalo Ibu tau aku putusin Kak Sambada dan batalin pernikahan kami, Ibu akan sedih dan kecewa lagi kayak dulu, makanya Allah manggil Ibu. Ibu lebih baik sama Allah, juga Bapak. Seenggaknya Allah dan Bapak nggak pernah bikin Ibu kecewa kayak aku.

Aku emang payah. Anak yang nggak berguna. Pantas aja pas mau bahagia aku selalu ditinggalin kayak gini.

"Jangan nangis lagi, Sayang. Ayo makan dulu.  Kamu nggak makan dari pagi lho. Ini udah jam sembilan. Nanti perut kamu perih. Tante suapin ya, mau ya, Sayang?"

Aku mau menggeleng, mau nolak, tapi nggak tega sama Tante Permata. Dia gantiin peran aku sebagai perempuan di rumah itu. Bahkan tugas Tante Permata jauh lebih banyak dari  para Tanteku. Dia ngambil semua tanggung jawab yang biasanya diurus tuan rumah perempuan. Karena jujur aja, aku cuma bisa duduk diam, nggak tau mau ngapa-ngapain. Kepalaku penuh sama saat-saat terakhir ketemu Ibu. Harusnya aku aja yang ngantar Ibu. Aku bakal hati-hati banget. Kalo pun kami kecelakaan, kami bisa mati bareng. Jadi aku nggak perlu ditinggalin kayak gini.

"Makanya sedikit saja ya, Nak. Asal ada yang masuk ke perutmu. Tante mohon.... "

"Bund, Mamanya Vivi mau pamit. "

Qahi masuk ke kamar.

Aku bahkan nggak tau  kalo Vivi dan keluarganya datang. Kenapa dia datang?

Ah... Dia kenalan Om Kusuma. Calon istri Kak Sambada. Tentu aja dia harus datang.

Jadi Kak Sambada lagi nemenin Vivi? Kali terakhir aku deket-deket Kak Sambada pas hari pemakaman Ibu. Selanjutnya kami bahkan nggak pernah tatap muka, padahal aku tau Kak Sambada di rumahku. Mungkin karena aku cuma ngurung diri di kamar, sementara dia ngurus semua acara tahlilan.

Aku makin ngerasa malu sama Kak Sambada. Sama keluarganya. Aku udah nyakitin mereka, tapi malah makin  ngerepotin sekarang. Kalo nggak ada mereka, aku nggak tau bakal ngapain aja. Harusnya setelah semua yang aku lakuin, mereka nggak akan bersikap sepeduli ini.

"Bisa tidak Ayah saja yang antar mereka ke depan. Athira belum mau makan ini. Bunda mau suapin dulu. Ayah saja yang urus keluarga Vivi. "

"Tidak bisa, Bunda. Ayah minta Bunda ke depan sebentar. Sini, aku saja yang suapin Athira-nya."

Tante Permata menghela napas, terlihat tak rela. "Ya sudah. Tapi kamu pelan-pelan bujuk Athira-nya. Harus sampai mau makan pokoknya."

"Iya, Bunda. "

Qahi lalu duduk di kursi yang tadi diduduki Tante Permata. Di tangannya kini ada piring berisi nasi dan lauk yang harus kumakan.

"Ra, makan sedikit aja ya, biar kamu nggak sakit. "

Aku menggeleng.

"Ra, air putih nggak akan pernah cukup buat badan kamu. Aku tau kamu nggak pernah makan dari pagi. "

"Aku nggak berselera. "

"Itu juga aku tau, tapi kamu harus tetap makan. Sesuap aja."

Aku menurut. Aku tahu Qahi nggak bakal nyerah sebelum aku nurut. Aku menerima suapan darinya.

"Pintarnya kamu.... "

Qahi mengusap kepalaku. Hal yang membuatku malah tergugu.

"Maafin aku, " ujar Qahi yang langsung menarik tangannya.

Kelembutan Qahi seperti ini mengingatkanku pada masa lalu. Saat kami masih jadi pasangan. Saat Bapak dan Ibu masih hidup. Ketika semuanya masih baik-baik aja.

"Ra, aku tau kamu butuh waktu untuk nerima kepergian Tante. Tapi aku juga yakin, Tante nggak akan mau kamu kayak gini. Nyiksa diri kamu dengan nggak mau makan sama sekali."

Aku tak mengucapkan apapun.

"Aku ada di sini, Ra. Kamu selalu punya aku. Sesulit apapun keadaanya, kamu nggak sendirian. Aku nggak akan ninggalin kamu lagi. Setelah semua yang terjadi, aku nggak akan biarin kamu sedih. Kamu ngerti kan?"

Aku mengangguk pelan. Aku tau Qahi tulus.

"Mau dilanjutin makannya? "

Aku menggeleng.

"Ya udah, kalo gitu kamu istirahat aja ya. Aku taruh piringnya dulu. Nanti aku balik buat bacain kamu buku cerita. Aku punya komik baru. Kamu pasti suka. "

Qahi kemudian  keluar kamar, tapi aku baru menyadari ponselnya tertinggal di pinggir ranjang. Qahi kayaknya naruh pas ngambil piring dari Tante tadi.

Aku mutusin buat balikin ponsel Qahi sekarang. Aku nggak mau dibacain komik. Aku cuma mau sendiri. Jadi aku berencana ngunci diri di kamar Ibu sampai pagi. Ketemu dan ngomong sama orang-orang berwajah sedih buat aku ngerasa makin terpuruk. Aku belum sanggup hadepin semuanya.

Aku keluar kamar, mencari Qahi. Tapi aku malah dengar suara Qahi dari arah teras depan.

Aku mutusin keluar. Toh tamu udah mulai sepi. Aku ngeliat Qahi lagi ngomong sama bapak-bapak berkumis dan istrinya yang cantik ditemani Om Kusuma dan Tante Permata. Tapi di arah lain, dekat pohon belinjo kesayangan Ibu, aku lihat Kak Sambada lagi ngomong sama Vivi. Penerangan di sana cukup redup karena dipojokkan. Mereka jelas nggak menarik perhatian tamu lain, kecuali aku yang memang secara nggak sadar selalu nyariin Kak Sambada.

Tapi pemandangan yang selanjutnya kulihat, buat badanku langsung lemas.

Vivi maju dan memeluk Kak Sambada. Membelai punggung mantan suamiku dengan penuh kasih sayang. Kepalanya bersandar di dada Kak Sambada. Dan Kak Sambada nggak mendorong Vivi.

"Si H.... hasyuuu...., " bisikku dengan suara bergetar.

Aku nggak mau pingsan lagi, tapi pandangan mataku langsung burem.

Tbc

Love,

Rami

Dua part lagi yaaa maka akan .... 🙃

Btw baca Part putusnya Bada sama meninggalnya Ibu di KK yaaa. Nah kalo nggak baca berasa nggak lengkap kan baca part ini. Emosi yang kalian dapat juga bakal jauh beda sama yang baca di sana. Sekian dan Terima kasih begituh.

Has To Be YouWhere stories live. Discover now