Satu Selimut Berdua

7.1K 1.5K 310
                                    


❤️‍🩹

Ibu sedang memberi sarapan cimol ikan tongkol kukus. Maklum, Cimol udah agak gendut, Ibu bilang mulai mikir buat menerapkan diet sehat anti goreng-gorengan pada si kesayangan.

Aku, ya diam aja. Rencana apapun yang dibuat Ibu, biarin aja. Aku nggak dalam mood ikut campur mengurus kucing kami.

Mengurus hatiku aja aku keteteran.

Semalaman aku nggak bisa tidur. Nggak bisa. Aku tidur setelah subuh. Iyap, benar saudari-saudari, setelah subuh. Habis mandi dan sholat aku tepar di atas sajadah.

Perkataan Sambada di tengah hujan itu membuatku terpukul. Terlebih sepanjang perjalanan kami nggak bicara sedikitpun.

Ternyata dia masih ingat.

Ternyata Sambada tak benar-benar maafin aku.

Dasar Virgo pendendam!

Aku mengacak rambut. Menatap Cimol yang tetap lahap makan. Andai Cimol tahu kenyataan yang kusimpan tentang fakta Jali dan Natasha, aku ragu dia akan bernafsu makan.

Sekarang aku tahu rasanya jadi sahabat yang nyimpan aib pasangan sahabatnya. Jali terkutuk. Tytyd-nya harus disunat, salah, dikebiri.

Ini sudah jam delapan pagi dan aku tahu penampilanku kayak Zombi. Pulang dalam keadaan menangis membuat Ibu tak sebawel biasanya.

Ibu saksi hidup berakhirnya pernikahanku dan Sambada. Ibu pasti paham bahwa selama ini kami pura-pura baik-baik aja.

Suara ponsel Ibu berbunyi. Anehnya Ibu tak menyruruhku mengambilnya. Ibu kan suka main perintah biasanya.

"Lanjutin sarapannya ya, Nak. Ibu tinggal sebentar."

Nak? Iya, entah sejak kapan Ibu resmi jadiin Cimol anak keduanya.

Sama kucing aja sayang setengah mati, gimana ya kalo Ibu punya cucu?

Dih cucu?

Aku menatap perutku yang rata. Gimana mau ngasi cucu kalo aku aja cuma baru dirudal sekali?

Astagfirullah rudal. Aku menutup wajahku.

"Miowww ...."

"Diam kamu, Cimol!"

"Mioow ... mioww ...."

"Ya bukan salahku kalo inget rudal dia! Orang dia muncul terus di depan aku! Kamu ke Jali juga gitu kan? Kamu kalo liat Jali pasti ingat tongkat saktinya makanya doyan!"

Cimol menatapku dengan sinis. Seolah mengatakan aku memang mesum.

Dasar kucing nggak tau diuntung!

Aku meletakkan kepalaku di atas meja makan. Piring sudah kusingkirkan jauh-jauh. Aku malas makan. Dari tempatku berada, aku bisa melihat Ibu yang sedang menuju ruang tengah. Ponsel itu memang ada di ruang tengah. Aku melihat Ibu mengangkat telepon.

"Assalam'mualaikum, Nak-"

Sambada? Nggak mungkin Qahi kan? Tapi kok Sambada? Sejak kapan mereka sering telepon-teleponan? Aku aja baru punya nomor Sambada kemarin.

"Kamu sakit? Kamu di mana sekarang? Di rumah? Sama siapa? Rumah yang mana? Astaga udah sarapan? Udah minum obat? Ini nih kalo kamu nggak mau dengar Ibu bilang jangan pulang semalam!"

Fix, itu Sambada. Semalam Sambada bersikukuh mengantarku sampai depan pintu. Dia juga sempat mengobrol sama Ibu.

Melihat perlakuan Ibu sama Sambada mengingatkanku betapa dekatnya mereka dulu.

Has To Be YouWhere stories live. Discover now