Kecelakaan

5.2K 1.3K 224
                                    

Ternyata ngatur jadwal nulis ama update pas puasa itu syulit benerrr. Waktu hamba rasanya singkat sekali huhu.🥲🙏

Btw apdetn Sambada eke selang seling ama Arash yeaaa.

****

Aku baru aja tidur pas ponsel Kak Bada bunyi. Sumpah suaranya itu brisik banget. Sampai aku yang selelah ini jadi terjaga lagi.

Aku liat Kak Bada bangun. Dia menjauh dari aku. Dia meriksa ponselnya, lalu menghela napas.

Iya kami tidur pelukan, maksudku Kak Sambada yang meluk habis puas nindih aku. Aku kira tadinya  aku udah pingsan. Soalnya nggak kuat ngeladeni Kak Bada.

Ternyata aku cuma tidur. Tidur ayam-ayaman. Nyesek banget. Orang iseng siapa sih yang tega-teganya nelepon jam segini? Dia nggak tau apa aku habis dibikin kerja rodi sama suamiku. Ini palingan aku juga bakal bisa tidurnya sejam dua jam doang. Soalnya  tongkat sakti Kam Bada udah gerak-gerak kek cacing dari tadi.

"Kak angkat ...," pintaku gara-gara itu panggilan masuk terus.

"Biarkan saja."

"Tapi siapa tahu penting."

"Ini panggilan dari Ayah."

Mataku langsung terbuka sepenuhnya. "Om Kusuma? Kalo gitu Kak Bada beneran harus angkat."

"Tidak mau. Aku matikan saja ponselnya."

"Ih nggak boleh gitu. Siapa tahu ini beneran penting. Serius."

"Pasti penting karena aku yakin Qahi sudah melapor pada Ayah."

Perasaan tak enak merasukiku. "Kak Bada takut dimarahi Om ya?"

Kak Sambada menggeleng. "Dimarahi pun aku sudah tak peduli."

"Kok gitu."

Kak Sambada menatap layar ponselnya dengan nanar. "Ayah akan selalu marah jika aku tak menurut. Aku sudah terbiasa."

Sumpah, sakit banget dengar Kak Bada ngomong kayak gitu.

Dia tersenyum getir. "Aku tidak mengangkat panggilan Ayah buman karena tidak mau berbicara. Aku hanya takut akan semakin marah pada orang tuaku. Dari pada terus menrus saling menyakiti, lebih baik menjauh dan tidak berkomunikasi dulu kan?"

"Tapi itu bukannya mutusin silaturahmi Kak?"

"Justru ini cara mempertahankannya." Kak Sambada menoleh dan mencoba tersenyum. "Jangan merasa bersalah. Karena kamu tidak salah."

Aku membelai wajah Kak Sambada dengan sayang. Dia itu dewaa
sa banget. Meski udah disakitin berkali-kali, dari pada ngeluarin kata-kata yang bisa nyakitin orang tuanya, Kak Sambada lebih memilih menjauh. Aku tahu ini berat buat dia. Dia harus berada di antara aku dan keluarganya.

"Aku ngerti. Tapi Om nelepon jam segini. Pasti ada yang penting banget. Kak ... dengerin aku," bujukku saat Kak Sambada terlihat hendak membuka suara. "Aku pernah nggak ngangkat telepon Ibu sekali  karena waktu itu lagi sibuk mandi. Dan Kak Bada tau yang aku lewatin? Kematian Ibu. Jangan pernah nolak panggilan telepon dari orang tua, karena kita nggak pernah tahu kapan terakhir kali nama mereka ada di layar ponsel kita buat nelepon."

Aku bisa ngeliat Kak Bada nahan napas. Aku tahu dia paham banget maksudku.

Ibu itu orangnga cerewet, suka ngegas juga. Dia bisa nelepon aku sampai lima kali sehari. Apalagi pas kuliah dulu. Nggak bohong dulu aku sering ngerasa teganggu. Tapi sekarang aku sadar betapa berarti momen itu. Sekarang, sampai mati pun, aku nggak bakal pernah nerima telepon dari Ibu lagi. Umur nggak ada yang tahu.

Has To Be YouМесто, где живут истории. Откройте их для себя