1. Seperti Magnet

187 67 19
                                    

Everyone wants him
That was my crime
The wrong place at the right time
And I break down, then he's pullin' me in
In a world of boys, he's a gentleman

Penggalan lirik dari lagu milik Taylor Swift itu mengalun dari ponsel milik Jian. Cewek berambut hitam kecoklatan itu terlihat menyapukan lip balm berwarna merah jambu di bibir tipisnya. Kemudian ia tersenyum, menyadari sebentar lagi Dirga akan sampai dan menjemputnya untuk berangkat ke sekolah bersama.

Drrrt!

Getaran singkat ponsel milik Jian menghentikan sementara alunan lagu yang diputar.

"Sudah berangkat sekolah?"

Jian hanya berekspresi dingin saat membaca pesan dari mamanya di WhatsApp. Tak ingin membalas pesan itu, ia memilih menutup aplikasi perpesanan berwarna hijau dan kembali memutar musik yang sempat terjeda.

Got lovestruck, went straight to my head
Got lovesick, all over my bed
Love to think you'll never forget
We'll pay the price, I guess

Deru mesin suara motor terdengar samar-samar dari kamar Jian. Buru-buru ia meraih deker berwarna senada dengan seragam dan memakainya secepat kilat. Ia pun mengambil tas selempang sekolah yang tergantung di atas laci, lalu berlari kecil ke depan. Dilihatnya Dirga duduk di atas motor yang masih menyala. Cowok itu melirik ke arah Jian yang tengah memakai sepatu. Sepasang mata coklat itu menatap Jian seolah memberi isyarat agar Jian segera naik.

"Yuk, berangkat!" seru Jian setelah ia naik ke motor Dirga.

Dirga tak membalas seruan Jian dan memilih fokus ke motornya. Cowok itu menoleh sesaat ke arah spion untuk memastikan Jian sudah berada dalam posisi yang aman. Bersamaan dengan momen itu, Jian melingkarkan tangannya ke pinggang Dirga.

"Duduk yang bener, Ji." Dirga berucap datar lalu berusaha memindahkan tangan Jian dari pinggangnya. Tak menunggu cewek di boncengannya bereaksi, ia langsung menstarter motor dan melaju menuju sekolahnya.

Jian tersenyum kecut menanggapi sikap Dirga barusan. Sudah menjadi hal biasa baginya menerima respon dingin cowok berambut two block haircut itu. Memang sikap Dirga terkesan cuek dan terkadang seakan acuh tak acuh dengan Jian. Namun, Jian tahu di balik itu Dirga menyimpan kepedulian padanya. Kalau tidak, mana mungkin cowok itu selalu mengapeli dirinya untuk berangkat dan pulang sekolah bersama. Meskipun Dirga baru saja bersikap dingin padanya, Jian tetap memasang senyum manis saat pandangannya tak sengaja menangkap sepasang mata coklat milik Dirga yang kedapatan tengah menatapnya dari balik spion.

Dirga adalah alasan mengapa Jian bersemangat datang ke sekolah. Mengapa ia bersenandung di pagi hari, mengapa ia memoles perona bibir, dan mengapa ia memiliki alasan untuk hidup lebih lama. Jawabannya sederhana, karena bagi Jian, Dirga-lah satu-satunya yang ada dan selalu peduli padanya. Bahkan, melebihi keluarganya sendiri.

Mungkin orang lain akan berteriak atau bahkan mengatai Jian bodoh karena menjadikan Dirga sebagai alasan ia hidup melebihi keluarganya sendiri. Orang bodoh mana yang memposisikan orang lain di atas keluarganya?

Namun, Jian sudah kebal dengan pernyataan demikian. Jian menggantungkan  harapan hidupnya dengan Dirga bukan karena apa. Untuk apa dia menempatkan keluarga di atas segalanya jika keluarga yang dimiliki sudah tidak ada artinya, dan bahkan hampir menghancurkannya. Bagi Jian, keluarganya sudah mati bersamaan dengan ayah yang meninggalkan ia selamanya di dunia, dan Mama yang meninggalkannya untuk memilih membangun keluarga baru tanpa Jian.

Motor sport 4 tak bermesin 150cc itu memasuki pelataran parkir SMA Harapan tepat beberapa menit sebelum bel berbunyi.  Jian turun dari motor diikuti Dirga yang kemudian melepas helm full face yang membalut kepalanya. Sampai di tempat itulah Jian harus berpisah dengan Dirga sesaat.

Lara di Ujung Senja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang