1. Rumah Baru

10 1 0
                                    

Tania merasa aneh saat melihat derasnya hujan di depannya namun sudah tak menyentuh tubuhnya. Perlahan, kepalanya mendongak dan mendapati diatas ada sebuah payung yang sepertinya dipegang oleh seseorang di belakang Tania.

Dengan sigap Tania menjauh karena takut berhadapan dengan orang tersebut. Tania sungguh masih sangat trauma dengan kecelakaan yang menimpanya belasan tahun yang lalu.

"Lo siapa?" tanya Tania penuh waspada.

Orang itu menghela napas lalu menatap bingung. "Maaf? Kamu bisa bicara?"

Tania hanya diam karena tak bisa mendengarnya, tetapi orang itu jadi mengerti. Dengan cepat dia mengeluarkan ponselnya dan mengetik sesuatu di sana.

( Nama saya Rangga. Mendiang ayah kamu dan ayah saya berteman baik. Jadi, saya dipercayakan untuk memberi tahu bahwa ayah kamu sudah menyiapkan rumah baru. Saya akan mengantar kamu ke sana. )

Setelah membaca tulisan di ponsel milik Rangga, Tania langsung mengangguk tanda menyetujui. Tania juga sudah tidak terlalu takut setelah mengetahui bahwa orang di depannya bukanlah orang jahat.

Rangga melepas jaketnya yang masih kering lalu memakaikan ke tubuh Tania yang basah karena hujan. Hal itu membuat Tania sedikit kaget. Namun karena kelelahan, Tania tak berniat memprotes.

"Mari saya antar ke rumah baru kamu," ajak Rangga dengan gerakan tangannya.

Senyum kecil terbit di wajah Tania. Hatinya menghangat melihat ada yang berani memakai bahasa isyarat untuknya. Tania jadi sedikit kagum dengan kebaikan laki-laki itu.

____________________________________

Tania dan Rangga sampai disebuah komplek perumahan mewah. Rangga berhenti di depan rumah bernuansa putih yang tampak kosong dibandingkan rumah lain. Tania menebak bahwa itu rumah barunya yang dimaksud oleh Rangga.

"Di sini?"

Segera Rangga mengangguk, lalu dia menoleh pada Tania yang tampak cukup senang menatap rumah baru yang akan ditempatinya.

Tania terharu setelah Rangga menceritakan bahwa ayahnya terlilit hutang sampai menyerahkan rumah lamanya demi membeli rumah mewah untuk Tania.

Ia menghadap pada Rangga dengan senyum simpul. "Makasih ya!"

Rangga membalas senyumannya dan menggenggamkan sebuah kunci di tangan Tania. "Mulai sekarang kamu tinggal di sini. Kalau ada perlu, panggil saya saja. Rumah saya ada di samping sana."

Tania mengikuti arah tunjuk laki-laki itu. Ternyata, rumah Rangga hanya dibatasi 1 rumah dari rumahnya. Tania kembali menatap Rangga yang ingin berpamitan.

"Kamu masuk dan istirahat. Besok saya akan mampir kalau sempat." Rangga berbalik dan meninggalkan pekarangan rumah baru Tania.

Setelah memastikan Rangga sudah pergi, Tania segera memasuki gerbang dan berjalan menuju rumah mewah itu. Harusnya Tania takut tinggal sendiri, bukan? Namun faktanya, Tania tidak penakut.

Tania melangkahkan kakinya masuk ke rumah barunya dan menekan saklar lampu yang membuat semua lampu seketika menyala. Ternyata satu lampu-lampu di rumah itu saling menyambung. Tania jadi tak perlu menyalakan lampu satu-satu.

Tatapan Tania menjelajah seisi rumah. Semuanya terlihat normal. Seperti baknya rumah yang memang sudah lama dikosongkan. Namun, ada satu hal yang mengganjal perasaannya.

Tania berjalan pelan menuju sofa yang di mejanya ada sebuah kaleng soda. Tania memegangnya dan ternyata masih ada isinya.

"Apa Rangga pernah masuk ke rumah ini dan minum soda?" tebak Tania. Karena mungkin saja Rangga bebas keluar masuk sesuka hatinya ke rumah ini selagi Tania belum menghuninya.

Namun jika memang Rangga, untuk apa dia melakukannya bahkan sampai meminum soda di sini? Rumah Rangga saja terlihat lebih bagus daripada rumah Tania.

Tetapi karena menurut Tania tidak begitu penting, akhirnya Tania mengambil kaleng soda itu dan membuangnya saja. Tania bisa menanyakan pada Rangga jika bertemu nanti.

Tania beranjak dari sofa lalu menuju tangga yang menghubungkan ke lantai dua. Namun, lagi dan lagi ada kejanggalan. Tania melihat ada jejak telapak kaki yang basah baru saja menuruni tangga. Karena penasaran, Tania mengurungkan niat untuk naik ke lantai dua.

Ia kembali turun dan mengikuti jejak kaki itu dengan teliti. Tania terus mengikutinya sampai akhirnya jejak kaki itu berhenti di sebuah kamar. Entah ada berapa kamar di lantai satu, namun Tania hanya melihat kamar itu.

Tanpa pikir panjang, Tania membuka pintu kamar itu yang untungnya tidak terkunci. Tania kaget saat melihat ada banyak tempelan foto manusia dan hewan. Sementara di sudut meja belajar, ada lima foto yang tertempel dan sticky notes.

Tania segera menuju ke meja belajar untuk melihatnya dengan jelas. Jantungnya terasa ingin berhenti saat tangannya meraih sebuah foto dari dinding kamar itu. Foto yang memperlihatkan dirinya dan sahabatnya saat SMA.

Kepala Tania mendongak untuk melihat foto lain, dan ternyata foto lain yang tertempel itu adalah foto sahabatnya. Tania melepaskan foto yang digenggamnya dengan panik.

"Rangga pelakunya?"

Namun dugaan itu salah ketika Tania kini menyadari bahwa dari sekian banyak foto sahabatnya, ada foto Rangga yang juga tertempel dengan bekas tusukan pulpen. Tania melangkah mundur memegangi kepalanya sendiri. Ia jadi curiga dengan rumah itu.

Tania juga melihat di meja belajar itu ternyata ada banyak benda tajam. Silet, pisau, gunting, bahkan pistol juga ada. Tania kini menyadari bahwa rumah ini adalah milik seorang psikopat.

Tangannya meraih pisau yang terletak di meja lalu mengamatinya. Namun, atensi Tania langsung terfokus pada kertas yang ditindih oleh pisau tadi. Tania segera membukanya.

"Selamat tinggal a--" kertas dan pisau itu terlepas dari genggaman Tania.

"PEMBUNUH. INI RUMAH PEMBUNUHNYA!" teriak Tania mengepalkan kedua tangannya penuh amarah. Ternyata, pemilik lama rumah ini adalah pembunuh sahabatnya.

Tania menyambar pistol di meja itu lalu menggenggamnya kuat. Ia berbalik lalu menunduk mencari jejak kaki yang berhenti di kamar ini. Matanya menyala marah ketika jejak kaki yang dicarinya menuju ke lubang belakang pintu.

"Sialan!! Kalian semua bersekongkol. Gue gak bakal biarin kalian lolos, dasar pembunuh!" Tania berlari menuju lubang yang menyambung ke ruang bawah tanah.

Gelap. Namun tak membuat niat Tania gentar. Tania menuruni tangga yang entah sepanjang apa. Emosi Tania benar-benar membuatnya setengah sadar. Ia terus menuruni tangga demi tangga untuk mencapai dasar ruang bawah tanah.

Tania menatap ke bawah dan ternyata sedikit lagi dirinya sampai. Tania terus menuruni tangga sampai akhirnya kakinya yang sempat cedera tiba-tiba terasa nyeri. Matanya terpejam berusaha menahan rasa sakit itu.

"Awss... tahan! Sedikit lagi sampai, Tan!!" kata Tania menguatkan dirinya.

"Eh? Tangganya goyang!"

"Gue mohon jangan! Sedikit lagi!"

BRUK!!

"Auuh kaki gue..." rintih Tania lalu terdiam karena rasa sakitnya mendadak hilang. Tania membuka matanya terlahan dan ternyata tidak gelap seperti sebelumnya.

"TANIA! BANGUN! KERJAKAN SOAL NOMOR 4!!"

Seketika tubuh Tania menegak tegang mendengar teriakan itu. Tania memegangi telinganya lalu tersenyum lebar. "Gue bisa mendengar?"

"TANIA!! KENAPA BENGONG?" teriak guru itu lagi.

"I-iya, pak. Maaf."

Guru laki-laki itu menggeleng lalu menghampiri meja Tania dengan marah. "Saya tidak butuh maaf. Berdiri dan kerjakan soal di atas, SEKARANG!!!"

"Tapi pak..."

Tiba-tiba Tania mendengar suara dari belakang tubuhnya. Tania menoleh sekilas pada orang itu lalu kembali menatap ke depan.

"Sutt! Nurut aja, Tan!! Nanti gue bantu jawab!"

Tania terdiam mendengar ucapan itu. Tanpa menoleh lagi, air matanya tanpa sadar keluar. "Rissa? Gue kangen sama lo."

《  TO BE CONTINUE  》
Written : 26 Apr 2024

THE OBITUARY Where stories live. Discover now