CHAPTER 17 The Rendezvous

9 1 0
                                    

Malam Natal.

Butiran-butiran salju turun perlahan dari langit.

Martin memandangi kerlap-kerlip kota dari atap gedung paling tinggi di Astralis Town. Rambutnya bergerak-gerak dimainkan angin malam. Ia menoleh ke pria yang berjalan mendekatinya. Pria itu bertopi dan bermantel hitam. Wajahnya sekilas terlihat seperti Donald, tetapi lebih "penuh pengalaman".

"Ini bukan tempat biasanya, Mister." Pria itu melepas topi seraya berdiri di samping Martin, lalu membungkuk hormat.

"Lama tidak berjumpa, Mr. Eisenhauer." Martin tersenyum. "Aku sedang merindukan tempat ini." Ia kembali menghadap pemandangan kota. "Setiap aku membaca sejarah tentang kota ini, aku selalu jengkel," katanya kemudian. Napasnya menguap di kedinginan malam. "Rasanya tidak rela kota indah yang dibangun leluhurku ini dianeksasi oleh Seleno I."

"Engelhart I memang tidak pernah ikhlas Astralis tergabung unifikasi LMP," balas Dietrich netral.

Air mancur besar di tengah Astralis terlihat dari tempat Martin dan Dietrich berdiri. Lampu-lampu gedung-gedung di sana mulai padam satu per satu sampai tempat itu tampak seperti lubang hitam di tengah kota yang diselimuti salju. Hanya air mancur itu yang bersinar di tengah kegelapan.

"Bintang-bintang akan bersinar terang di malam yang paling gelap," kata Dietrich dalam bahasa Jerman. "Kau ingat penggalan puisi waktu sekolah itu?"

Martin menyeringai. Ia menghela napas. "Para Bintang .... Itu Engelhart II yang menulisnya, kakek dari kakekku yang dosanya sangat banyak di buku sejarah. Puisi itu sebenarnya propaganda anti-Seleno."

"Ayahku dan saudara-saudaraku juga beranggapan begitu." Dietrich memasukkan satu tangannya ke saku mantel. "Tapi aku dan ibuku tidak."

Martin mengernyit samar.

"Itu bukan hanya propaganda semata, Mr. Ramsey. Itu sebuah ramalan, yang diambil oleh Engelhart II dari leluhurku sebelum dia gagal membunuh Seleno I," jelas Dietrich serius.

Lipatan di dahi Martin semakin jelas. "Apa maksudnya ... LMP akan dikuasai komunis?" Ia bertanya hati-hati.

Dietrich tertawa sopan. "Bintang itu bukan hanya milik komunis, Mr. Ramsey .... Sama seperti warna merah."

"Apa kau tahu siapa Para Bintang itu?"

"Aku hanya mengerti masa lalu, bukan masa depan." Dietrich menengok arloji. "Baiklah." Ia memperhatikan Martin. "Nama yang kaucari itu, dia adalah Richard Alexander. Alasannya dendam dan ambisi. Dia masih tidak terima dengan kematian ayahnya yang sebenarnya dibunuh ayah Thompson sebelum Invasi '55. Dia juga sejak awal berambisi ingin mendapat posisi di SC."

"Terima kasih banyak, Mr. Eisenhauer." Martin memegang bahu Dietrich, mencegahnya membungkuk. "Aku turut menyesal mengenai adikmu. Aku minta maaf, aku tidak bisa membantu."

Dietrich tersenyum tipis.

Pukul dua dini hari.

Seseorang mengetuk-etuk pintu flat Pieter.

Pieter berpaling kaget dari bukunya. Ia berjalan perlahan ke pintu. Tangan kirinya memegang gagang. Ia mengintip lewat kaca cembung kecil di pintu, dilihatnya seorang pria setinggi kurang lebih 190 senti, berhidung mancung, bermata cokelat indah, dan berambut kecokelatan yang tertutup topi. Pria itu menunggu dengan wajah menghadap ke kanan.

Pieter terdiam, membukakan pintu.

Martin melepas topi. "Selamat malam, Herr." Ia tersenyum melihat wajah Pieter yang pucat.

"Apa bertamu saat pukul dua dini hari itu budayamu dan orang-orangmu?" Pieter yang tidak dalam pengaruh Anti-Shift (mencoba) mendesis.

"Aku sibuk." Martin mengangkat bahu ringan. "Aku datang kemari dengan niat baik, Herr. Kau bisa menggeledahku jika kau mau." Ia mengangkat kedua tangan—salah satunya memegang kotak yang dibungkus kertas cokelat.

DIE STERNE: UNDERWOLFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang