44. IGNITES >>Dandelion<<

10.4K 601 8
                                    

Sebuah senyuman lebar tercetak jelas di bibir gadis yang kini matanya berkaca-kaca.

Dia belum pernah melihat ladang seluas ini dibiarkan begitu saja, ditumbuhi banyak rumput liar, namun terlihat begitu indah dan menyegarkan.

"Udah lama gue pengin bawa lo ke sini," ucap pemuda yang sejak tadi berdiri di belakang gadis itu.

"Kenapa lo baru bawa gue sekarang, Kak?" Tanya Wilona yang belum berhenti terkagum-kagum dengan apa yang dia lihat sekarang.

Raga tertawa pelan, kemudian berdiri di samping Wilona yang sedang menghirup udara segar sebanyak mungkin dari tempat itu.

Pemuda yang kini sedang mengambil beberapa bunga liar memang sengaja bolos sekolah demi bisa membawa Wilona ke tempat itu.

Sebuah padang rumput yang cukup luas, milik keluarga Abani, dimana itu juga bisa dibilang milik Raga.

"Menurut lo gimana kalo gue bangun sekolah khusus anak-anak jalanan di sini?" Tanya Raga yang langsung mendapat tatapan tak ramah dari Wilona.

"Kak, kota ini udah banyak bangunan yang bahkan banyak tuh yang terbengkalai. Biarin ini kayak gini aja. Lo bisa beli satu gedung buat direnov dan dijadiin sekolah," jawab gadis itu tegas.

Raga tersenyum tipis mendengar jawaban Wilona. Kulit gadis itu masih terdapat ruam merah di beberapa titik tangan dan leher.

Tidak separah seminggu yang lalu, juga tidak segatal beberapa hari yang lalu. Tapi Wilona belum mendapat izin untuk masuk ke sekolah oleh dua bodyguardnya.

Papa dan Wildan.

"Kulit lo nggak sensitif matahari, kan?" Tanya Raga yang khawatir, karena Wilona mulai menggaruk punggung tangannya.

"Enggak. Mungkin tadi kena daun jagung yang di depan sana," jawab Wilona sambil merebut bunga berwarna kuning cerah dari tangan Raga.

"Ini namanya bunga apa?"

Raga menggeleng pelan. "Gue juga nggak tau. Bukannya bunga ini tumbuh liar dimana aja?"

"Iya juga sih. Di taman dekat rumah juga ada."

Pemuda itu tiba-tiba menggandeng Wilona dan mengajak duduk di sebuah saung yang sudah cukup usang di sana.

Anehnya Wilona tak menolak saat tangan Raga tiba-tiba menyentuhnya.

"Udah mulai terik. Nggak terlalu baik buat kulit," Raga memberikan sebotol minuman dingin yang tadi dia beli sebelum ke tempat itu.

Gadis itu meminumnya dan tersenyum senang. Terakhir kali dia melihat pemandangan seperti ini tapi berakhir tragis.

Senyumnya mulai pudar ketika mengingat kejadian itu.

Raga menyadarinya, kemudian berdehem pelan. "Suasana hati lo tiba-tiba memburuk."

"Gue ingat Mama," lirih Wilona, membuat Raga sedikit tertegun.

"Saat gue duduk di bangku akhir sekolah dasar, gue mencoba berontak dari aturan yang nyokap gue buat. Gue nggak tahan selalu dibatasi apapun yang mau gue lakuin."

Raga menatap Wilona yang kini tertunduk sedih.

"Gue kabur saat keluarga kami main ke sebuah daerah tempat Oma tinggal. Gue lari bukan karena nyokap ngejar gue, tapi karena seseorang yang mencoba lukain gue pake parang."

Pemuda itu tak bisa berkata-kata saat Wilona menceritakan bagian paling mengerikan itu.

Wilona menghapus air matanya, mencoba untuk melanjutkan cerita yang selama ini dia pendam sendiri.

IGNITES Where stories live. Discover now