2. IGNITES »Jaglion Angkara«

32.3K 1.1K 3
                                    


"Saya ingin Jaglion hidup sebagai putra mahkota."

Ucapan yang keluar dari mulut sang kakek bukanlah ucapan biasa, melainkan sebuah perintah yang harus dijalankan oleh siapapun, tanpa terkecuali.

Anak laki-laki berumur 5 tahun itu sudah cukup mengerti apa yang para orang dewasa bicarakan. Mungkin karena terbiasa dididik untuk tidak seperti anak seusainya pada umumnya.

Dia melihat air mata mamanya belum juga berhenti, padahal sudah cukup lama ia menangis. Bisa-bisa kering air mata mamanya itu kalau dibiarkan saja.

"Papa nggak bisa kayak gitu, dong. Papa nggak memikirkan perasaan aku dan Sintya?"

Itu kata balasan yang papanya ucapkan. Terkadang papa Jaglion juga berani melanggar dan melawan kakek meski lebih sering mematuhinya.

"Pokoknya papa nggak mau cucu yang lain. Jaglion adalah cucu satu-satunya!"

'cucu satu-satunya?'

Jaglion sedari tadi hanya bersembunyi di balik tangga. Dia tidak berani keluar karena dia tahu, setelah dia muncul obrolan mereka akan berubah arah.

Anak laki-laki itu tak tahan melihat mamanya yang terus menangis di samping papanya. Wajah kakek sangat angkuh, membuat Jaglion yakin bahwa penyebab mamanya menangis adalah kakeknya.

Lagi dan lagi.

Saat hendak keluar dari persembunyiannya, seseorang menarik lengan Jaglion agar tidak beranjak dari tempatnya.

"Jagi," panggil orang itu sambil menggeleng, mengisyaratkan untuk tidak pergi ke sana.

Jaglion mendengus pelan. Dia hanya ingin mengusap air mata mamanya.

"Maksud kakek apa, Om? Kenapa Jagi cucu satu-satunya? Terus gimana sama adik Jagi yang ada di perut mama?" tanya Jaglion, polos.

Eric berjongkok dan menatap keponakannya yang jarang tersenyum itu.

"Jaglion nggak akan bisa punya adik," kata Eric nampak sedih.

"Kenapa? Kata mama adik cuma perlu tinggal di perut mama selama 7 bulan lagi. Setelah itu keluar jadi adik."

"Om tahu, Jagi bukan seperti anak pada umumnya. Jagi mengerti semuanya dengan baik. Mulai sekarang anggap semua ini milik Jagi. Cuma milik Jagi dan nggak akan jadi orang lain."

"Semua? Semuanya?" tanya Jaglion masih belum menerima pernyataan Om Eric.

"Iya, semuanya," balas Eric tanpa ragu.

Jaglion langsung berlari ke orang tuanya. Anak laki-laki itu memeluk sang mama dan mengusap air mata cinta pertamanya itu.

"Jangan bunuh adik Jagi," kata anak laki-laki itu pada sang kakek.

Bahar menatap tegas cucunya itu. "Siapa yang berani memanggil cucu kakek dengan nama manja seperti itu?"

"Kakek jahat! Lebih baik Jagi nggak punya kakek daripada nggak punya adik!" seru Jaglion, kesal.

Kakek berusia 75 tahun itu menggebrak meja, membuat semua orang yang ada di sekitar ruangan itu terkejut.

"Apa yang sudah kamu ajarkan ke cucu papa, Fedric?"

Fedric menghela nafas panjang. "Jaglion sudah sangat ingin punya adik, Pa. Tolong jangan seperti ini. Bayi dalam kandungan Sintya juga cucu papa."

"Sudah cukup dengan Jaglion, Steve dan Bima. Papa tidak mau cucu yang lain," putus Bahar tanpa peduli perasaan Sintya, menantu pertamanya yang kini sedang mengandung lagi.

Jaglion menatap kakeknya dengan marah. Rasanya dia ingin membuat tubuh renta itu remuk redam.

Kakek yang harusnya ia cintai, justru pembunuh yang berkedok kepala keluarga. Dia begitu dicintai sampai kakeknya tidak bisa berpaling darinya.

IGNITES Where stories live. Discover now