Joo Hyun memandang para karyawan di sekitarnya, "Saya ingin kalian mengumpulkan profil calon-calon model yang menurut kalian dapat membawa citra tersebut. Tidak hanya memiliki penampilan yang menarik, tetapi juga memiliki karakter yang dapat mengkomunikasikan rasa ketulusan dan eksklusif."

Para karyawan di ruang rapat itu mengangguk serius, mengerti pentingnya tugas yang diberikan oleh Joo Hyun. Mereka sibuk mencatat setiap detail perkataan Joo Hyun.

Seul Gi kemudian mendekati Joo Hyun dengan wajah serius. "Anda memiliki agenda makan siang bersama suami Anda. Setelah itu, ke pabrik kain untuk mengecek kualitas bahan baku." 

Joo Hyun mengangguk, menyerap informasi tersebut. "Kita akhiri rapat ini dan segera lanjutkan ke pertemuan selanjutnya." Suara Joo Hyun terdengar tegas saat ia mengakhiri rapat dengan percaya diri.





Makan siang suami istri itu tampak elegan dan diidam-idamkan banyak orang. Sejoli yang indah untuk dipandang layaknya adegan drama di televisi. Di tengah kemilau restoran bintang lima yang Seok Jin pilih untuk makan siang, Joo Hyun terlihat cantik dengan setelan blouse warna pastel. Sedangkan Seok Jin, dengan gaya khas setelan jasnya yang mahal, menikmati setiap hidangan yang disajikan dengan menerapkan etika makan yang sangat rapi seolah-olah ia tengah menghadiri jamuan kenegaraan. 

Joo Hyun mencoba untuk menyesuaikan diri dari ruang privasi di restoran yang glamor ini, namun sesuatu di dalam dirinya meronta ingin kabur. Setiap suapan makanan yang dia coba membuat pikirannya terlempar kembali ke meja makan Nenek Lim yang sederhana. 

Meja dengan taplak sutra di restoran itu begitu kontras dengan meja makan Nenek Lim yang sempit. Di rumah Nenek Lim, tidak ada piring yang dihias dengan garnis bunga atau saus yang dituangkan dengan teknik khusus. Yang ada hanya mangkuk besar sup yang menguarkan uap, ikan goreng yang gurih, dan sayur yang dimasak dengan sentuhan kasih sayang. Rasanya, walau tidak dibuat oleh Chef bergelar Michelin Star namun tidak dapat ditandingi oleh restoran mana pun di dunia ini. Ada tawa, ada cerita dan kehangatan yang tidak bisa tergantikan oleh uang sebanyak apa pun.

Joo Hyun menyadari bahwa kemewahan tidak selalu datang dalam bentuk kristal dan sutra, melainkan dapat berupa kesederhanaan. Makan di restoran mahal seperti ini, bersama orang yang melukai hati, bagi Joo Hyun, seolah-olah seperti menari dengan sepatu kaca yang ukurannya terlalu sempit: indah dipandang, namun menyakitkan.

Seok Jin melihat kekakuan di wajah Joo Hyun. "Joo Hyun, apakah kau baik-baik saja?" tanya Seok Jin dengan lembut, mencoba menembus dinding yang menyekat hati istrinya.

Joo Hyun mengangkat pandangannya dari piringnya, matanya mencari-cari sesuatu di wajah Seok Jin. Kekhawatiran dan kepedulian Seok Jin itu adalah hal yang ia idam-idamkan. Namun kini mendengar semua kalimat itu justru menyakitkan baginya. Joo Hyun pun kembali menyantap dagingnya, kemudian menjawab dengan singkat, "Aku baik. Hanya sedikit lelah."

"Bagaimana pekerjaanmu, sayang?" tanya Seok Jin dengan senyum tipisnya, mencoba memulai percakapan. "Kudengar akan ada peluncuran desain baru?"

Joo Hyun menatap suaminya sebentar sebelum memalingkan pandangannya kembali ke piringnya. "Biasa saja," jawabnya singkat.

Seok Jin menelan ludahnya, merasa sedikit putus asa dengan tanggapan dingin istrinya. Sedari tadi, ia memperhatikan bagaimana Joo Hyun hanya menatap sebentar setiap ia menjawab. Itu adalah cara Joo Hyun untuk menyembunyikan emosi yang sebenarnya. Jika dia merasa tertekan, lelah, dan bahkan tidak puas dengan sesuatu baik di pekerjaan atau hubungan mereka.

"Katanya kau sedang mencari seorang model? Jika tidak satupun model Korea yang cocok bagaimana dengan di luar negeri?" Seok Jin mencoba melanjutkan percakapan dengan santai. Mengabaikan luka hatinya. "Aku bisa menghubungi agensi model besar di Jepang dan Amerika. Aku bisa membantumu-"

S U G A R     M O M M YWhere stories live. Discover now