7. Guru Kesukaan

Zacznij od początku
                                    

"Tapi ibu tidak mau. Ibu pengen ngajarin kalian. Ibu tidak mau 2 jam mata pelajaran kalian kosong karena ibu tidak masuk. Karena ibu menyakini kalau kalian ke sekolah untuk belajar. Untuk menuntut ilmu. Jadi dengan senang hati ibu akan membagikan ilmu itu kepada kalian."

"Ibu pernah bilang kan sama kalian. Kalau diluaran sana masih banyak anak-anak yang ingin sekolah seperti kalian tapi tidak mampu karena kondisi ekonomi mereka tidak memadai untuk bersekolah dan kalian adalah di antara orang beruntung itu yang mampu merasakan duduk di bangku sekolah."

"Jadi ingat ya. Kalian harus banyak-banyak bersyukur. Caranya gimana? Dengan belajar dan dengan mendengarkan penjelasan guru di depan kelas. Kalau sudah mendengarkan, tapi tetap tidak masuk. Itu artinya kalian sudah berusaha belajar dan menghargai guru yang mengajar. Insya Allah, semoga ilmu kalian mendapat berkah."

Kalimat-kalimat sederhana terus Syanum perdengarkan sebelum kembali melanjutkan materi. Berharap kalimat sederhana itu dapat dimengerti dan dicerna dengan baik oleh anak muridnya. Syanum hanya berusaha, hasilnya tergantung pada muridnya mau menerima atau tidak.

Tidak terasa waktu pulang sudah tiba ditandai dengan suara bel berbunyi sebanyak 5 kali. Seperti biasa sebelum pulang anak murid di minta untuk berdoa terlebih dulu.

Syanum berjalan di lorong kelas menuju kantor guru setelah berhasil menertibkan anak muridnya sampai meninggalkan kelas.

"Ya Allah, Num. Kamu rajin benar ngajarnya. Padahal baru kemarin pulang dari rumah sakit." Itu suara Syifa yang entah sejak kapan sudah berjalan di sampingnya.

"Kamu dari mana, kok baru kelihatan? Aku kira gak masuk ngajar hari ini." Tanya Syanum karena memang seharian ini tidak melihat Syifa. Biasanya jika pergantian jam setidaknya mereka akan berselisihan sebentar di kantor guru karena mengambil buku materi atau ketika waktu istirahat mereka bisa saling berbicara.

"Aku habis zuhur tadi baru balik ke sekolah terus lanjut ngajar yang kebetulan masuk kelas di dua jam terakhir pembelajaran. Dari pagi nemenin ibu Pipit meeting buat perlombaan nanti. Aku sih yes aja. Kamu pasti kangen sama aku ya?" Goda Syifa. Sudah kebiasaannya menggoda sahabatnya itu. Sedangkan Syanum hanya memutar bola matanya jengah.

"Sudahlah. Kalau ngomong sama kamu mah gak pernah bisa serius." Syifa hanya terbahak mendapat respon ucapan jengah dari sahabatnya.

"Akh, sst. Sakit, ya Allah. Kenapa kamu tekan tangan aku?" Ringis Syanum karena tangannya yang terluka di pegang dengan sedikit di tekan oleh Syifa.

Syifa yang melihat ekspresi wajah sahabatnya yang sedikit memucat merasa bersalah. "Maaf ya. Aku kira tangan kamu sudah mendingan. Muka kamu soalnya gak menunjukkan muka sakit."

Syanum menggeleng tidak percaya dengan ucapan sahabatnya sambil meletakkan buku di atas meja dan duduk di kursinya. Mereka memang sudah berada di kantor. Sedangkan menarik kursi di meja sebelah dan duduk berhadapan dengan Syanum.

"Syifa, syifa. Kamu itu ada-ada aja. Orang patah tangan mana ada sembuh dalam 2 atau 3 hari. Kamu kira sakit demam." Celetuk ibu Rahma yang mendengar perdebatan guru muda itu. Ucapan ibu Rahma tentu saja makin membuat Syifa bersalah.

"Maaf ya, Num. Soalnya aku penasaran aja apakah tidak sakit. Ngetes gitu loh. Soalnya muka kamu anteng aja gitu." Ringis Syifa di akhir ucapannya. Dia memang tidak bermaksud menyakiti sahabatnya.

"Coba kamu lihat jari-jari dan telapak tangan aku!" Pinta Syanum sambil mengarahkan tangan yang memakai arm sling itu kepada sahabatnya.

"Ya Allah, Num. Tangan kamu kenapa bisa bengkak seperti itu?" Syifa sungguh terkejut kali ini. Telapak tangan Syanum berserta jari-jarinya terlihat membengkak.

"Kayaknya karena aku kelamaan pakai arm sling. Kelamaan tergantung kan dia. Ini bengkaknya juga baru siang tadi kok. Aku juga lupa bawa obatnya."

"Duh, kamu ini ada-ada aja sih. Kan udah dibilang istirahat aja dulu sampai tangan kamu sembuh. Tapi ini ngeyel mau tetap ngajar." Omel Syifa bersamaan dengan ponselnya berdering.

"Bang Juna, nelpon." Beritahu Syifa sebelum dia mengangkat ponselnya.

"Halo. Kenapa bang?"

"Oh, iyakah? Kalo gitu aku segera ke sana." Tut. Dengan sesuka hatinya Syifa menutup panggilan suara di ponselnya.

"Ayo Num, kita pulang. Bang Juna sudah di depan. Kamu ikut aku aja pulangnya." Tanpa menunggu jawaban Syanum. Syifa yang memang sesukanya dan tidak ingin dibantah segera ke mejanya sendiri untuk membereskan tasnya.

Begitu pun Syanum yang diam-diam menghela nafas sambil menyandang tas punggungnya dibahu sebelah kirinya. Mengikuti langkah Syifa yang berjalan sambil menggandeng tangannya menuju depan gerbang sekolah di mana pria itu sudah menunggu di sana.

###

Binuang, 26 April 2024

My DestinyOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz