"Tolong bantu aku" Jian buru-buru berlari menghampiri ketika melihat Alan tengah dipapah oleh seseorang yang tak ia kenali.
Alan pulang dalam keadaan mabuk.
"Tapi tunggu, kau siapa?" Tanya seorang pemuda yang membantu memapah Alan.
"Aku? Aku Jian dan baru bekerja disini" Jian menjawab sambil meraih tangan Alan lalu membantu memapahnya bersama si pemuda yang kelihatannya dekat dengan Alan.
"Baiklah. Tolong bantu Alan" ucap pemuda itu sambil membantu mendudukkan Alan di sofa.
"Sekarang aku harus pergi" si pemuda yang tak lebih tinggi dari Alan itu pamit.
"Terima kasih" Jian tersenyum kikuk lalu mengantarkan tamunya sampai pintu.
Setelah pemuda yang mengantarkan Alan pergi, Jian langsung menghampiri Alan. Pemuda itu sudah tergeletak di atas sofa, masih lengkap dengan kemeja kantornya. Jian berniat untuk melakukan hal yang pernah ia lakukan saat mengantarkan Alan pulang dalam keadaan yang sama.
Dengan perlahan ia membuka kedua sepatu Alan lalu mengambil bantal sofa untuk menyanggah kepala si tuan rumah. Dalam diam Jian memperhatikan wajah Alan. Meneliti karya Tuhan yang tercipta hampir tanpa cela. Alasan apa yang membuat pemuda tampan itu tak bisa mengontrol dirinya sampai mabuk? Menjadi tampan dan kaya memang bukan jaminan seseorang untuk selalu bahagia.
"Meir.." Alan menggumam dan membuat Jian sedikit tercengang.
Meir?
Jian bahkan baru menyadari setelah satu minggu mengenalnya, ini pertama kalinya Alan memanggil namanya.
Bukan Jian, tapi Meir.
Jian buru-buru berdiri dan mengambil jarak dari Alan sementara si pemuda yang kesadarannya tinggal separuh hanya mengerjapkan matanya dan memandang lemah pada Jian.
"kau tahu bagaimana caranya menolak permintaan ayahmu, tidak?"
Meir membeku, mencerna kalimat Alan sambil bertanya-tanya apakah pemuda itu tidak lagi mabuk dan sudah sadar sepenuhnya?
"Meir? Kenapa diam saja?" Alan mengeluh dengan suara baritone yang mulai serak "Ah, aku lupa. Aku bertanya pada seseorang yang tak punya ayah" Alan kemudian tertawa.
Menyadarkan Jian bahwa pemuda yang masih tergeletak di atas sofa itu masih dalam keadaan mabuk.
Alan kemudian menarik tawanya. Ia memandang serius Jian yang masih berdiri membeku "Meir, bisakah aku memanggilmu dengan nama itu? Aku tidak suka nama pemberian dari orang brengsek seperti orang tua asuhmu. Mereka sudah melukaimu, kau pasti sangat menderita" Alan mengalihkan pandangannya dari Jian yang tiba-tiba merasa tersentuh mendengar ucapan dari orang yang sedang mabuk.
Sebenarnya orang yang sedang mabuk memang cenderung akan bicara tak masuk akal, tapi kalimat Alan sukses membuat Jian merasa sangat dihargai meskipun Jian yakin Alan akan melupakan ucapannya ketika ia sadar nanti.
"Perutku mual" Alan bergerak berusaha mendudukkan dirinya. Jian dengan sigap membantunya dan berniat untuk mengambil segelas air. Namun sebelum hal itu terjadi, Alan sudah memuntahkan semua isi perutnya.
"Damn!" Jian mengumpat sementara si tersangka tak merasa bersalah dan kembali merebahkan tubuhnya di atas sofa.
"Bagaimana aku mengurusmu?" Jian setengah berteriak sambil berusaha membersihkan percikan muntahan yang menempel di bajunya.
Jemal sialan!
***
Masih pagi-pagi buta, Jian sudah berada di dapur. Meja makan sudah tertata rapih oleh sepiring roti panggang dengan berbagai macam selai, salad, segelas jus dan juga segelas susu.
YOU ARE READING
Middle Name | JAEWOO [END]
Fanfiction"Untuk sementara jangan beritahu Gemma jika kita tinggal bersama" - Jian (Jungwoo) "Tolong pergi dulu kemana saja, aku dan Aster akan tiba di apartemen 10 menit lagi" - Alan (Jaehyun)
Three
Start from the beginning
![Middle Name | JAEWOO [END]](https://img.wattpad.com/cover/364023965-64-k1257.jpg)