Tidak sampai lima menit Alan kembali. Ia berdiri di ambang pintu yang belum tertutup kemudian menaruh sebuah kotak berukuran sedang berisi obat-obatan dan mangkuk berisi air es di atas meja yang berada tak jauh dari pintu.

"Tolong kompres wajahmu, kau terlihat agak menakutkan" kata Alan kemudian menutup pintu kamar Jian dan berlalu pergi.

***

Masih ada tiga jam lagi sebelum matahari terbit namun Jian masih terjaga. Dia duduk bersandar di atas tempat tidur sambil memandang lurus dinding di seberangnya. Satu jam yang lalu dia berusaha untuk mengistirahatkan tubuhnya dan berharap akan segera terlelap namun semakin ia berusaha, semakin sulit pula ia memejamkan mata.

Jian sudah mengompres lebam di pipinya, ia juga mengoleskan salep di lukanya berharap rasa nyeri akibat pukulan Jim berkurang dan warna kebiruan yang menghiasi wajahnya sedikit menghilang.

Beberapa jam berlalu, matahari mulai mengintip dari celah tirai jendela. Jian beranjak dari tempat tidur, merapihkan sedikit seprai yang terkesiap karena jejak tubuhnya dan setelahnya ia melangkah keluar kamar.

Masih di pagi buta, Jian yakin Alan belum bangun dari tidurnya. Jian seperti tengah tersesat di tengah-tengah apartemen besar milik pemuda arogan yang semalam sudah membantunya.

Terbiasa dengan rumah mungil miliknya, Jian berjalan mengendap khawatir Alan terganggu oleh suara yang tak sengaja ia timbulkan. Jian berjalan menuju sebuah lemari tinggi yang berada di ruang tengah hendak melihat sesuatu yang sejak semalam menarik perhatiannya.

Beberapa penghargaan terpajang rapih di dalam sebuah lemari kaca dan semuanya bertuliskan nama Jeffrey dengan segala tingkat kejuaraan yang tak begitu Jian pahami. Jian mengerutkan dahinya, berusaha mengira-ngira siapa itu Jeffrey.

Ayahnya? Saudaranya?

"Sudah bangun?" Jian tiba-tiba terlonjak ketika mendengar suara Alan yang sudah berada tepat di belakangnya.

Jian berbalik menghadap Alan namun cepat-cepat mengalihkan pandangannya ketika melihat Alan hanya menggunakan boxer pendek sambil mengalungkan handuk kecil di leher tanpa sehelai atasan—seolah-olah sedang mempertontonkan otot sempurna di setiap sisi tubuhnya. Rambut Alan basah, begitu juga dengan wajah dan tubuhnya yang terlihat mengkilap karena keringat.

"Jika butuh sarapan, aku punya stok roti di meja dapur, susu dan jus di kulkas" Alan bicara sambil melepas earpods yang sejak tadi menempel di kedua telinganya.

"Terima kasih tapi aku harus pergi sekarang, aku harus bekerja" Jian memberanikan untuk mengangkat kepalanya dan menatap Alan tanpa ragu.

"Coffee shop mana yang buka sepagi ini?" Alan mengangkat sebelah alisnya.

"Aku harus pulang lebih dulu dan mengganti baju" Jian menjentikkan hoodienya yang sudah ia gunakan sejak kemarin.

Sedikit ada penyesalan kenapa Alan tidak berinisiatif meminjamkan selembar pakainnya? Meskipun kebesaran setidaknya Jian tidak akan terlihat lusuh dengan pakaian yang bernoda bekas percikan darah di sekitaran dada dan ujung lengannya.

"Terserah kau saja" Alan mengedikkan bahunya lalu menarik ujung handuknya untuk menyeka keringat di wajahnya.

"Kalau begitu aku pamit, terima kasih banyak Tuan" Jian terbata-bata, Alan mengangguk kemudian fokus dengan luka di wajah Jian yang masih terlihat kebiruan, hatinya kembali teriris.

Jian melangkah menuju pintu utama dan Alan masuk ke dalam kamarnya. Tugas Alan dari Gemma untuk menolong Jian selesai, ia bergegas mandi lalu bersiap-siap untuk pergi ke kantor dan menghabiskan waktu yang sangat membosankan disana.

Middle Name | JAEWOO [END]Where stories live. Discover now