"Tapi kau tidak memiliki teman yang sebaik aku" Gemma serius namun Jian kembali tertawa.

"Gemm, tidurlah. Aku akan tiba di rumah sebentar lagi—aku sedang di jalan sekarang" kata Jian sambil mengikuti langkah yang membawanya pada minimarket yang berjarak 500 meter dari rumahnya.

Pembicaraan Jian dan Gemma berakhir. Jian akhirnya bisa bernafas lega dan bisa menikmati lagi kesendiriannya. Pemuda itu memasuki minimarket 24 jam, membeli satu kaleng soda dan sebungkus rokok. Setelah membayar semuanya, Jian duduk di teras minimarket. Menyesap rokoknya sembari menikmati sekaleng soda lemon yang rasanya terasa lebih pekat dari biasanya.

Jian bukan perokok berat seperti Nina, ia hanya mengonsumsinya sesekali. Bagi Jian rokok bisa menggantikan posisi alkohol untuk meredakan stressnya. Sama seperti Gemma, toleransinya terhadap alkohol sangat buruk—Jian akan langsung mabuk meskipun hanya menengguk satu gelas.

Tanpa terasa pemuda itu sudah menghabiskan batang rokok ketiga. Ia menyesapnya tanpa sadar sampai paru-parunya terasa penuh dan sesak. Ponselnya kembali berdering, hati kecilnya langsung berteriak berharap bukan Gemma yang menghubunginya.

Nomor tak dikenal tertera di layar ponsel Jian. Pemuda itu ragu untuk menjawab namun disisi lain dia juga khawatir ada sesuatu yang darurat yang mungkin bisa terjadi. Ketika Jian menjawab teleponnya, seseorang di seberang sana langsung bicara tanpa sapaan ataupun basa-basi.

"Aku di dekat gang" terdengar suara baritone yang pernah Jian dengar sebelumnya.

"Maaf, siapa—"

"Alan" pemuda di seberang sana langsung memutus.

"Hah?" Jian langsung berdiri saking terkejutnya.

"Aku di ujung tangga menuju rumahmu" Alan kembali bicara.

Cepat-cepat Jian mematikan teleponnya lalu berlari menuju arah rumahnya. Semua pasti rencana Gemma, gadis itu selalu melakukan apapun sesuka hatinya tak peduli dengan segala resiko yang akan terjadi.

Alan benar, dia sudah disana. Berdiri seorang diri bersandar pada mobil sedan berwarna hitam miliknya. Tidak seperti yang biasa dilihat Jian, kali ini Alan menggunakan pakaian casualnya—kaus putih polos berbalut trucker jacket, celana jeans berwarna gelap dan sepatu kets belel yang tetap saja terlihat mahal.

Jian hampir tidak bisa mengenali Alan saat mereka masih berjarak. Alan terlihat seperti orang lain dan jauh lebih muda dibandingkan dengan Alan yang Jian lihat sebelumnya.

Suara langkah kaki Jian membuat Alan menoleh pada sumber suara. Pemuda itu sekilas mengenyit, memandangi Jian dengan seksama yang terlihat lelah dengan nafas tersengal dan wajah pucat. Mata Alan kemudian seakan menelanjangi setiap wajah Jian yang sebagian tertutup tudung hoodienya. Tidak ada alasan lain, pemuda itu hanya penasaran.

"Apa yang Tuan lakukan disini?" Tanya Jian dengan nafas terengah. Pemuda itu masih setengah percaya, bagaimana seorang atasan sahabatnya berada disini dan menghubunginya?

"Menjemputmu" jawab Alan.

"Menjemput?" Jian sudah tidak bisa berpikir jernih dan mencerna apa yang sebenarnya terjadi.

"Aku punya kamar kosong, kau bisa memakainya untuk malam ini" Alan meneggakkan tubuhnya dan tak lagi bersandar pada mobilnya.

"Gemma yang memberitahu Tuan? Astaga, kenapa—"

"Aku tidak punya waktu untuk menjelaskannya padamu" sikap arogan itu datang lagi, Jian hampir mendecak melihat wajah Alan yang terlihat tidak nyaman.

"Baiklah, sebelumnya terima kasih, tapi aku tidak butuh tawaran" Jian menarik bibirnya menjadi segaris senyuman paksa.

Middle Name | JAEWOO [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora