"Dia tidak pantas kau sebut sebagai anak" Jim bicara pada Nina sambil menunjuk Jian yang tergeletak di lantai lalu kembali ke kamar dan membanting pintu.
Nina masih duduk di sofa nyamannya, dia sempat bernafas lega ketika melihat Jian akhirnya bergerak untuk berusaha bangun meskipun terlihat kesakitan sembari menyeka darah yang keluar dari hidungnya.
"Aku sampai lelah memberitahumu, bisakah sekali saja kau bersikap baik di depannya?" Nina mematikan batang rokoknya lalu bangkit berdiri berjalan melewati Jian.
—
Ketika rasa sakit di wajahnya membaik, Jian keluar dari rumahnya. Berjalan menuruni undakan tangga panjang yang mengarah ke jalan besar. Pemuda itu berjalan tanpa arah, menikmati dinginnya angin malam yang rasanya jauh lebih baik ketimbang berada di rumahnya.
Jim bukan yang pertama kali menyakiti Jian. Pemuda itu bahkan sama sekali tidak mengigat kapan pria paruh baya itu memperlakukannya selayaknya manusia. Ketika ibunya memutuskan hidup bersama Jim, saat itulah hidup Jian tidak baik-baik saja.
Halte pinggir jalan menjadi tempat persinggahan Jian. Dia duduk disana lalu menjadikan lampu lalu lintas sebagai objek penglihatannya. Pemuda itu menikmati bagaimana lampu berwarna di tiang kokoh itu menyala bergantian dalam beberapa waktu.
Lampu hijau telah menyala, beberapa kendaraan mulai melintas tanpa halangan. Jian yang hendak menghitung waktu sampai lampu kuning menyala tiba-tiba terusik ketika ponselnya berdering. Gemma menghubunginya, sesuatu yang selalu gadis itu lakukan di tengah malam ketika terserang insomnia.
"Jian, kau di luar? ini sudah pukul 1 malam" Gemma bisa mendengar suara mobil melintas saat Jian menjawab teleponnya.
"Aku sedang mencari udara segar" jawab Jian sambil merapatkan tudung hoodienya.
"Apa terjadi sesuatu?" Gemma curiga.
"Tidak ada, aku hanya ingin menikmati suasana malam" Jian berdusta meskipun tidak yakin Gemma akan langsung percaya.
"Kau dimana sekarang?" Gemma mulai mengintrogasi.
"Di sekitaran rumah. Jangan khawatir, aku akan pulang sebentar lagi"
"Apa dia mencoba menyakitimu?" Jian tahu siapa yang Gemma maksud. Jian selalu menceritakan soal Jim pada sahabatnya meskipun tidak seutuhnya.
"Tidak, aku baik-baik saja"
"Aku akan bilang ibu jika kau mau bermalam di rumahku, dia pasti senang kau datang"
"Tidak—jangan. Aku tidak ingin ibumu khawatir" Jian buru-buru menolak.
Jian bisa membayangkan bagaimana jadinya jika ia datang dengan keadaan wajah penuh lebam? Lagi pula Entah sudah berapa kali keluarga Gemma membantunya. Dulu ketika Jim baru saja tinggal bersamanya, Jian tidak jarang mengunjungi rumah Gemma lalu menginap disana. Semula Jian selalu menutupi apa yang terjadi, namun lambat laun akhirnya Gemma dan keluarganya mengetahui apa yang Jian lalui hingga mereka selalu mencemaskannya.
"Lalu kau pikir jika aku diam saja aku tidak akan mengkhawatirkanmu?" Gemma menekan kalimatnya.
Jian terdiam—sibuk mencari jawaban apa yang pas agar sahabatnya tak lagi bersikap berlebihan.
"Aku tahu kau tidak akan pulang ke rumah malam ini" Gemma kembali bicara sebelum Jian memberikan respon.
"Kau bukan peramal" Jian terkekeh. Pemuda itu berdiri dari duduknya lalu kembali berjalan tanpa tujuan.
"Perpustakaan? Warnet? Stasiun? Tempat itu yang sedang ada di pikiranmu sekarang" Gemma berusaha mendahului.
"Aku punya banyak teman yang bisa memberiku tumpangan jika aku mau"
KAMU SEDANG MEMBACA
Middle Name | JAEWOO [END]
Fiksi Penggemar"Untuk sementara jangan beritahu Gemma jika kita tinggal bersama" - Jian (Jungwoo) "Tolong pergi dulu kemana saja, aku dan Aster akan tiba di apartemen 10 menit lagi" - Alan (Jaehyun)
Two
Mulai dari awal
![Middle Name | JAEWOO [END]](https://img.wattpad.com/cover/364023965-64-k1257.jpg)