Teman Hidup

408 64 33
                                    

Dia indah, meretas gundah
Dia yang selama ini kunanti
Membawa sejuk, memanja rasa
Dia yang selalu ada untukku
.
.
Tulus - Teman Hidup
.
.
.
.
.
.
Pemandangan Kota Bandung di sore hari dari rooftop tentunya begitu memanjakan mata. Meski di depan sana aku hanya melihat bangunan yang rapat dan suara kendaraan yang berdengung, tapi langit senja tidak pernah gagal menciptakan keajaiban. Iya, aku memang penikmat senja sejak dulu. Kamarku yang menghadap matahari terbenam membuat senja menjadi favoritku. Apalagi kalau warna langit sedang tidak biasa: jingga hingga kemerahan. Selalu cantik di mataku.

Seperti kali ini, rasa lelahku setelah jaga pagi dan menemani Yudhis mencari sepatu baru untuk hobi barunya, memudar ketika dia mengajakku menikmati senja di salah satu kafe yang berada di lantai teratas. Meski kami sempat berdebat tadi, pasalnya malam ini Yudhis mendapat jadwal jaga. Seminggu penuh, seperti yang dijanjikan Milly. Aku tidak ingin dia kurang istirahat, tapi dia bersikeras tidurnya pagi tadi sudah cukup. Jadi, aku tidak bisa lagi menolak.

"Aku kira kamu main sama temen baru, ternyata si Oji sama Ucup juga. Kenapa jadi tiba-tiba pada ngebasket, Dhis?" tanyaku ketika kami menunggu pesanan datang. Tadi Yudhis sempat menunjukkan pesan di grup chat teman futsalnya yang ternyata juga menjadi temannya bermain basket.

"Nggak tiba-tiba, Di. Dulu beberapa kali main basket juga. Cuma sekarang ini agak susah ketemu jadwal yang sama. Daripada sering batal futsal gara-gara kurang orang, pada sepakat main basket aja. Enam orang juga hayuk." jelas Yudhis.

"Three on three ya?"

"Yap."

Aku memang tidak seperti Yudhis yang gemar mencoba berbagai macam berolahraga. Olahragaku hanya sebatas berenang di rumah, lari keliling komplek, atau paling jauh ikut-ikutan gym ketika Milly atau Grace mengajak. Meski begitu, nilai pelajaran olahragaku ketika SMA lumayan lah, jadi cukup tahu beberapa macamnya. Aku, Milly, dan Grace juga langganan menjadi suporter Yudhis ketika bertanding dulu. Sedikit banyak, kami mengenal beberapa orang yang menjadi teman olahraganya.

"Kirain kamu cuma suka futsal. Dari dulu  betah banget di kampus, rela pulang sore demi buat main futsal." Aku tidak pernah tahu dia mengikuti olahraga lain, jadi aku menyimpulkan futsal adalah favoritnya.

"Bukan demi futsal kali, tapi demi kamu." Eh?

"Ish, ngada-ngada!" Aku menanggapi santai ucapan asal Yudhis. Tidak kuanggap serius karena tidak ingin pipiku tiba-tiba tersipu hanya karena ucapan manisnya. Belakangan ini entah kenapa Yudhis semakin gencar bertingkah menjadi pasangan yang romantis. Tidak ada yang salah, hanya saja kadang aku masih tidak menyangka hubungan kami berubah secepat itu.

"Jangan pura-pura nggak tau kalo aku suka nunggu kamu pulang." tuding Yudhis.

"Kalo itu tau." jujurku.

"Daripada aku bengong nungguin kamu rapat ini itu, mending sambil main futsal." Ketika tingkat dua, aku memang aktif di organisasi mahasiswa yang membuatku harus sering mengikuti rapat dan berakhir pulang terlambat. Dan Yudhis hampir selalu ada di sana, dengan alasan futsal, hingga membuat kami sering pulang bersama. "Tapi kamu beneran sadar aku suka nunggu kamu?"

"Iya lah, aku tau kok kamu disuruh Papi."

"Maksudnya?" Yudhis mengerut bingung.

"Kamu suka nunggu aku karena disuruh Papi kan? Aku pernah denger obrolan kalian waktu kita SMA.".

Yudhis yang sedang mengobrol dengan Papi bukan suatu hal yang aneh. Bahkan di masa kecilnya, aku yakin Yudhis lebih sering mengobrol dengan Papi dibanding Papanya karena kesibukan Om Dharma memang jauh di atas Papi. Dan aku masih ingat, di awal kami masuk SMA, aku mendengar Papi meminta Yudhis untuk selalu menemaniku.

DD/Where stories live. Discover now