Menang - Mengalah

377 70 1
                                    

Cinta bukan satu-satunya
Yang bawa kita ke sana
Sebut saja dia logika
Menang mengalah
Bahagia
.
.
Raisa - Hari Bahagia
.
.
.
.
.
.
Yudhis dan keinginannya adalah sesuatu yang sulit dibantah. Jadi aku hanya bisa pasrah ketika akhirnya dia mengikutiku ke dalam rumah. Dia bahkan memarkirkan mobilnya di rumahku, saking tidak sabarnya untuk membicarakan apapun itu yang dia maksud.

Begitu melihat sofa ruang keluarga, tubuh lelahku langsung merebah di sana. Bukan hanya lelah setelah bekerja, tapi memikirkan Papi jelas lebih menguras tenaga. Lenganku terangkat untuk menutup mata, berharap bisa mengistirahatkannya sejenak. Sayangnya kepalaku tidak bisa berhenti berpikir.

Aku merasakan gerak pelan. Mengintip sedikit, aku mendapati Yudhis duduk di karpet dan menyandarkan kepala di sofa tidak jauh dari kepalaku. Ini.. terasa familiar. Ketika pulang sekolah dulu, kami sering dalam posisi ini. Dari SD, SMP, SMA, bahkan kuliah, kami sering hanya terdiam seperti ini. Biasanya kami akan istirahat sebelum beranjak ke meja makan.

Rutinitas itu juga yang biasanya meredakan kekesalan satu sama lain. Sudah kubilang kan, baik aku ataupun Yudhis kadang sama-sama menyebalkan. Keras kepala dan tidak mau mengalah khas anak tunggal. Semenyebalkan apapun kami, semuanya akan mereda setelah kami berdiam diri seperti ini.

Dan perasaan itu juga yang aku rasakan saat ini.

Rasa kesalku pada Yudhis yang akhir-akhir ini bertingkah, meluruh perlahan. Menghela nafas, aku menurunkan tangan dari kepala kemudian melingkarkannya di pundak Yudhis. Salah satu gesturku untuk melunakkan hati Yudhis, sejak dulu.

"Dhis, kita udah bareng-bareng hampir seumur hidup lho. Hubungan kita tuh udah jadi zona aman buatku. Kenapa harus berubah sih?" kataku.

Yudhis tidak bereaksi, tapi aku menikmati keheningan yang sudah lama tidak aku rasakan ini. Kurasakan tangan Yudhis menyentuh tanganku di pundaknya.

"I miss this. I miss us." Yudhis bersuara.

"Iya kan? Kamu kebayang nggak sih kalo hubungan kita berubah, terus berakhir nggak kayak yang kita harapkan? Kita akan kehilangan ini." kataku.

"Kamu ingat nggak, kapan terakhir kita ngobrol begini?"

Aku mengerutkan kening karena balasan Yudhis tidak menjawab pertanyaanku. Namun begitu, aku tetap mengingat-ingat.

"Waktu kita kuliah kayaknya ya? Tahun ketiga? Kita mulai sibuk banget waktu itu. Jadwal kuliah sampe sore terus, tugas, organisasi... "

"Bukan." Yudhis menyela. "Aku kehilangan kita yang dulu, sejak kamu sama Gandhi."

Aku menutup mulut yang masih terbuka karena banyak kata menggantung. Kembali mengingat lagi ke masa itu. Tahun ketiga kuliah kami, setumpuk jadwal dan tugas, lalu.. rutinitas baru dengan Gandhi. Saling mengabari.

Meski bertemu hampir setiap hari, aku dan Gandhi tetap saling bertukar pesan saat aku sudah di rumah. Tidak jarang, ketika Yudhis di rumahku, aku.. mengabaikannya?

"Kita nggak mungkin bisa kayak gini di saat kamu punya pasangan, Di. Jadi kalo kamu bilang hubungan kita nggak berubah, jelas salah. Hubungan kita udah lama berubah. Paling nggak, untuk aku jelas berubah."

Aku tidak bisa menyangkal ucapan Yudhis. Karena semuanya masuk akal dan aku baru menyadari sekarang.

"Aku nggak bisa protes juga, Di, you loved him. Aku nggak berhak melarang kamu menunjukkan rasa sayang kamu ke dia kan? Jadi aku tau diri, aku yang mundur." lanjut Yudhis.

Detik ini aku tidak bisa bersuara lagi. Yang dikatakan Yudhis tidak salah. Mungkin akupun akan melakukan hal yang sama jika di posisi Yudhis. Hubungan persahabatan kami memang tidak lagi sama, tapi selalu ada.

DD/Where stories live. Discover now